This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Thursday, March 31, 2011

Cerita Pendek - BUNGA DAN KUPU-KUPU

Cerita Pendek - Seperti lelap aku. Suara-suara itu adalah hantu. Mereka terlalu bising dan aku mencoba untuk tidak mendengar apa yang mereka ributkan. Selalu saja, meraka datang saat aku melepas penatku menjadi beraian impian yang punah sebelum fajar. Lalu saat sadarku bertautan, mereka lenyap, tak bertanggung jawab, menghadirkan insomnia yang berkepanjangan.

“Apa-apaan ini?” tanya suara bariton di ujung sana, disusul hantaman keras benda tumpul di meja.

“Kamu tidak terima? Iya, tidak terima? Memang kamu bisa apa?” Lengkingan suara lain bernada sopran menggertak parau. Ada kekesalan dan rasa tidak hormat yang menyembul jelas diantara kepingannya. Lalu bariton itu mulai mendesakkan cacian yang tak kalah pedas, disambut balasan yang setimpal untuk tiap-tiap diksi. Mereka meracau dan aku tak dapat lagi mendengar jelas.

Suara-suara itu hadir pertama kali saat aku menyenangi kupu-kupu dan bunga. Bentuknya bagus-bagus dan warnanya indah-indah. Saat melihat seekor kupu-kupu menyentuhkan sayapnya pada kelopak bunga, warna yang dimiliki keduanya berbaur hingga aku tak tahu mana yang lebih indah. Saat itu aku membayangkan bahwa kupu-kupu dapat membuat bunga terlihat lebih cantik, dan sebaliknya. Aku suka saja membiarkan pemandangan itu bergolak dibawah sinar matahari. Lalu aku semakin senang menghabiskan malam dengan membayangkan kupu-kupu dan bunga di tempat tidur, untuk bangun pagi-pagi keesokan harinya dan menyaksikan sendiri keduanya bercengkerama.

Tapi itu tak berlangsung lama. Ayah memotong bunga milik si kupu-kupu, dan tak lagi membiarkannya tumbuh. Aku berteriak dan menangis tersedu-sedu ketika tangkai yang telah terpotong itu tergeletak pasrah di tanah. Namun ayah justru semakin marah melihatku demikian, kemudian beliau menamparku. Aku terjatuh ke belakang. Rasanya sakit, namun tak sesakit perasaanku ketika tahu aku kehilangan bunga milik si kupu-kupu. Aku tahu, kehilangan si bunga, berarti kehilangan si kupu-kupu. Aku takut tak dapat lagi membayangkan keduanya bercengkerama ketika suara-suara itu mengangguku di tempat tidur dari kejauhan.

Dulu mereka tidak datang tiap malam, hanya kadang-kadang saja. Tetapi begitu mereka datang, selalu saja aku ketakutan, sangat takut! Takut yang tidak seperti kalau aku ditakuti teman-temanku akan wewe gombel, pocong, atau endhas glundung. Tapi rasa takut itu mengendap di otakku, menggerogotinya dari dalam, kemudian meninggalkan aku tanpa kehidupan. Seperti mimpi yang menyeramkan, tapi nyata, dan mimpi itu selalu ada di sana dan membuatku tak tenang.

Suara-suara itu begitu menusuk telingaku, betapapun lirihnya. Kalau sudah begitu, aku akan memejamkan mata erat-erat, bahkan menutupnya dengan bantal, lalu membayangkan bunga dan kupu-kupu. Pelan-pelan suara itu tak terdengar, dan aku tak lagi menjumpai suara suara itu keesokan harinya, dalam jangka waktu yang lumayan lama.

Dan ketika ayah memotong bunga itu, hatiku hancur. Bagaimana mereka akan menyelamatkan aku dari suara-suara itu? Aku tak dapat lagi memandangi mereka, dan bayangan mereka terkubur bersama waktu yang menghimpitku dengan surasuara yang makin sering hadir tiap malam.

Mula-mula aku menggigil. Aku memejamkan mata erat-erat, namun yang keluar justru air mata. Lalu aku mulai mereka-reka, membalik dari sekian ingatan bentuk dan warna bunga dan kupu-kupu. Ketika kutemukan, aku menciptakan ruang baru di ke-palaku untuk mereka berdua. Suatu ruang yang hampa, gelap, dan dingin. Hanya bentuk baku dan warna-warna yang menjadi kusam milik mereka yang mampu kulukiskan. Semula aku menangis karena aku tak dapat menghadirkannya dengan sempurna. Aku sedih sekali. Bunga dan kupu-kupu itu menjadi buruk dan tidak hidup, mengingatkanku pada film zombie yang kulihat bersama ayah ketika aku tidak bisa tidur dan ibu belum pulang. Waktu itu ayah kutanya, kemana ibu? Beliau mendengus dan berkata kasar; ‘ibumu tak tahu diri, kerja terus, keluarga tak diurus’. Aku tak mengerti. Aku ketakutan. Zombie-zombie yang ada di TV memakan manusia. ‘Pengecut!’ lagi-lagi ayah mendengus.

Dan bayangan zombie itu membentuk kerangka yang kupakai melukiskan bunga dan kupu-kupu. Begitu pucat dan menakutkan. Tak hentihentinya aku menangis, bermalam-malam, dan suara-suara itu semakin bising. Hingga aku lelah dan tertidur. Lalu ketika esok dan esoknya lagi aku membayangkan bunga dan kupu-kupu, bayangan yang kucipta semakin kabur dan la-ngu. Semakin pucat, tak berwarna, bahkan bunga itu terlihat seperti bangkai yang dihinggapi sesuatu mahluk dengan bentuk sayap yang tidak beraturan. Tercabik di sana-sini, dan kusam. Tetapi aku tak lagi menangis.


***

Rumahku penuh orang. Beberapa di antaranya berseragam sedang yang lain berjubel di pintu. Saling berebut mengintip ke dalam dan berbisikbisik. Aku melihatnya dengan senang. Takpernah ada banyak orang mengunjungi rumahku, dan mereka semua begitu berwarna. Tidak! Tidak seperti bunga dan kupu-kupu yang dulu ku tahu. Mereka seperti badut yang kulihat di tv, dan membuatku takut. Dulu. Sekarang aku tak takut apaapa lagi. Aku tak mau ayah menyebutku pengecut, sehingga menamparku dan aku akan kehilangan bunga dan kupu-kupu itu sekali lagi. Kali ini dari kepalaku, dengan bentuk dan warna yang sudah sama sekali berbeda. Tetapi yang penting aku masih memilikinya. Dan badut-badut bersuara lebah itu tak akan mampu membuatku takut, atau menangis. Mereka tak akan sanggup mengambil apa yang kini hanya boleh kumiliki sendiri
“Kau dengar aku?” Suara keras di telingaku datang tiba-tiba dari salah seorang yang berseragam. “Perhatikan aku, to-long!” Sungguh tak sopan, ia minta tolong tapi ia membentakku. Aku memandangnya. Dia bukan badut dan tak cukup pucat un-tuk menjadi zombie. Hm... ku kira aku masih harus mencari tahu, apa orang ini!

“Di mana kau malam itu?” Malam itu? Apa yang dia tanya-kan? Apakah dia meanyakan bunga dan kupu-kupu milikku yang selalu kutemui tiap malam? Oh tidak, janganjangan dia orang yang akan mengambil mereka dariku. Tak akan kubiarkan.
“Jangan diam saja! Katakan, dimana kau malam itu?” Orang berseragam ini sungguh tak sopan. Dia membentak-bentakku di hadapan orang banyak. Mungkin ia tak pernah diajarkan sopan santun. Tapi ia punya bentuk muka yang aneh. Hidungnya terlalu besar dan ia seakanakan mampu makan apa saja. Sejenis sapi mungkin. Ia pasti pemamah biak. Semakin kuperhatikan, ia semakin memaki. Tapi aku tak mendengar apa yang diucapkannya padaku. Mukanya terlalu aneh. Jadi, kupikir ia tak akan sanggup mengambil bunga dan kupu-kupu milikku.

Akhirnya, ketika ia mulai terlihat lelah, seseorang berkata padanya, “bawa saja ia ke psikiater! Mungkin ia bahkan tak tahu bahwa ibunya yang pelacur itu telah dibunuh ayahnya.”


Oleh : hildaCHANDRA April 30th, 2002, 24.00

Cerita natal - Kasih natal Yesus

Cerita natal - Di sebuah kota kecil di Meksiko tampak orang berjalan berduyun-duyun menuju sebuah gereja. Mereka membawa buah-buahan, sayur-sayuran, dan kembang gula untuk dipersembahkan kepada Bayi Yesus. Dari tepi jalan Manuel memperhatikan orang-orang itu. Mereka tertawa gembira dan bernyanyi-nyanyi dengan riang. Mereka semua tampak bahagia.Tetapi Manuel tidak bisa seperti mereka. Ia hanya bisa menangis sedi ketika menatap mereka. Manuel hanyalah seorang anak jalanan yang telah yatim piatu. Ia tidak mempunyai apa-apa untuk dipersembahkan kepada Bayi Yesus.
Beberapa hari yang lalu Manuel meminta-minta sesuatu kepada orang-orang yang lewat di depannya. Ia ingin memiliki sesuatu untuk dipersembahkan pada Bayi Yesus. Namun orang-orang hanya tertawa mendengarnya. “Kalau kami memberimu sesuatu, tidak mungkin engkau mempersembahkannya untuk Bayi Yesus” ejek mereka. “Kami tahu engkau anak yang baik, tapi kami yakin engkau akan memilikinya untuk dirimu sendiri.”
Pernah terlintas di benak Manuel untuk mencuri sesuatu. Tetapi, apakah baik mencuri sesuatu untuk dipersembahkan kepada Bayi Yesus? Lebih baik tidak membawa persembahan daripada memberi persembahan yang didapat dari mencuri. Manuel berjalan menjauh. Orang-orang telah masuk ke dalam gereja dan menutup pintunya rapat-rapat. Manuel mengendap-endap ke dalam gereja dan mengintip ke dalamnya. Di depannya tampak pemandangan yang benar-benar menakjubkan. Lilin-lilin yang menyala, lukisan yang indah, dan berbagai persembahan untuk Bayi Yesus. Ratusan orang berkumpul di sekeliling patung Bayi Yesus dan ibunya.
Makin lama melihatnya, Manuel makin sedih. Akhirnya Manuel berlutut dan berdoa, “Tuhan Yesus aku tidak seperti orang-orang yang di dalam gereja. Aku tidak memiliki apa-pun untuk-Mu di hari Natal ini. Tetapi terimalah doaku, juga air mataku. Hanya itu yang bisa aku berikan untuk-Mu.” Manuel menghapus air matanya, lalu membuka matanya. Ajaib,setiap tetes air mata Manuel yang jatuh ke tanah berubah menjadi bunga. Bunga-bunga itu sangat indah dan belum pernah ada sebelumnya. Bunga itu berwarna kuning keemasan seperti sinar bintang yang menerangi Betlehem. Di sekeliling bunga itu tampak daun-daun warna merah seperti darah.
“Ajaib,” teriak Manuel. Ia mencabut bunga itu sampai ke akarnya lalu berlari masuk ke dalam gereja.
“Lihat!” teriak Manuel kepada orang-orang di dalam gereja. Ini persembahanku untuk Bayi Yesus.”

Mereka berbisik-bisik dan menggumamkan sesuatu yang tidak jelas. Mereka tidak suka perayaan Natal mereka terhenti. Namun, ketika melihat bunga itu, bisik dan gumam mereka berubah menjadi decak kagum. “Ini benar-benar suatu keajaiban,” kata seorang pastor. “Bunga seperti ini belum pernah kulihat.” Dan sejak saat itu bunga Manuel terkenal dengan nama Bunga Malam Kudus.


Natal… apa yang terbayang dalam benak teman-teman tentang suasana Natal? Pohon cemara lengkap dengan hiasannya? Lilin dan bintang-bintang? Malaikat yang menari-nari? Tidak ketinggalan pasti ada hadiah dengan dibungkus kertas warna-warni. Ya, suasana Natal memang dirasakan sebagai suasana penuh suka cita dan keceriaan dalam menanti kelahiran Yesus, Sang Juru Selamat.
Sesuatu yang juga selalu ada dalam suasana Natal adalah cerita dan dongeng tentang Natal. Baik itu cerita kelahiran Yesus yang diambil dari Injil ataupun cerita tentang tradisi perayaan Natal dan juga dongeng-dongeng legenda seputar Natal, seperti kisah Manuel di atas tadi.
Dalam buku Kumpulan Cerita Natal terdapat cerita dari berbagai negara dan macam-macam budaya. Sungguh mengasyikan, kita jadi tahu cerita tentang pohon Natal pertama, juga kisah si Unta Kecil sebagai pembawa persembahan bagi kanak-kanak Yesus, dan masih banyak lagi cerita-cerita yang lain. Masing-masing cerita itu mempunyai pesan tentang keajaiban dan kegembiraan Natal.

Tuesday, March 29, 2011

Cerita Natal - "Christmas - Holiday Season"

Cerita Natal - Beberapa tahun terakhir ucapan "Merry Christmas" mulai beralih pada
ucapan yang lebih sekuler "Happy Holidays" atau "Best Wishes for the Holiday Season" dan semacamnya. Pohon-natal pun mulai tidak lagi disebut sebagai "Christmas Tree" tetapi "Holiday Tree". Perubahan ini mendapat perhatian khusus, dan ada diantara kita kaum Kristiani sangat menentang hal-hal tersebut.

Bulan Desember tahun lalu di Amerika Serikat ada kelompok Kristen Konservatif berjumlah 700an orang berdemo, menyerukan agar orang Kristen memboikot group toko retail Target, karena toko tersebut memasang iklan dengan tidak menyebutkan kata "Christmas" melainkan memakai istilah "Holiday Season". Kegiatan ini langsung dibaca dengan cermat oleh group toko retail Wal-Mart yang tetap beriklan dengan menyertakan kata "Christmas".
Karena tekanan itu, Target kemudian balik menggunakan kata "Christmas" dalam iklannya. Maka jadilah urusan itu berubah menjadi "marketing tools", dan hebohnya berita bisa jadi menguntungkan ke-2 macam group toko tersebut.

Di tengah-tengah kontroversi dalam bisnis retail tersebut, Presiden Bush dan istrinya mengirim kartu Natal kepada sekitar 1,4 juta orang pendukungnya.
Kartu itu bergambar dua anjing kesayangan Presiden Bush bermain-main di salju, di depan Gedung Putih. Kartu itu tidak bertuliskan ucapan "Merry Christmas", tetapi "Best Wishes for the Holiday Season". Kartu ini tentu saja mengecewakan sebagian orang yang kurang setuju dengan istilah "Holiday Season".

Beberapa kelompok politik dan kalangan Kristen konservatif pun mengecam kartu ucapan presiden ini, dan mengatakan itu adalah upaya untuk menyingkirkan Kristen dari arena publik.

Ada baiknya kita melihat sejarah Natal, dimana memang perayaan Natal 25 Desember ini terjadi karena tradisi saja. Alkitab tidak pernah menyebut adanya Natal tanggal 25 Desember, tidak pernah menyebut atribut natal, pohon natal dan lain-lain. Penemuan papyrus abad-4, menulis pada tahun 274 M di Kerajaan Romawi, tanggal 25 Desember dimulai perayaan kelahiran matahari karena diakhir musim salju tanggal itu matahari mulai kembali menampakkan sinarnya dengan kuat, karena itu bagi orang Romawi kuno, hari itu
dirayakan sebagai hari Matahari.
http://www.gsn-soeki.com/wouw/

Ketika Kekristenan 'dijadikan agama negara' di Kerajaan Romawi, kebiasaan perayaan itu ternyata sukar ditinggalkan masyarakat Roma yang sudah menjadi Kristen. Oleh karena itu para pemimpin Gereja kemudian mengalihkan perhatian mereka, perayaan yang semula
adalah perayaan Matahari diganti menjadi perayaan peringatan kelahiran Yesus.

Ketentuan ini oleh Gereja pada masa itu diresmikan di Roma tahun 336 M, dan mereka menjadikan tanggal 25 Desember sebagai hari peringatan kelahiranKristus. Peringatan kelahiran Kristus dengan tanggal peringatan 25 Desember akhirnya juga diperkenalkan oleh Kaisar Konstantin, hal ini sebagai pengganti tanggal 5-6 Januari yang sebelumnya sudah ditetapkan sebagai hari peringatan kelahiran Kristus.

Perayaan Natal kemudian di lakukan juga di Anthiokia pada tahun 375 M dan pada tahun 380 M dirayakan di Konstantinopel, dan tahun 430 M di Alexandria dan kemudian di tempat-tempat lain dimana kekristenan berkembang.

Sebagai seorang Kristen yang telah mengerti makna Natal sebenarnya, tidaklah perlu ikut-ikutan aksi seperti kelompok Kristen di Amerika, menentang sekularisasi Natal oleh orang-orang yang bukan Kristen tetapi ingin merayakan Natal. Natal secara luas telah dikenal orang dunia. Di Jepang orang non-Kristen juga merayakan Natal, dengan pesta malam dan
mabuk sampai pagi, di Malaysia negara Muslim, di negara tetangga kita ini Natal
juga dirayakan oleh sebagian orang Muslim. Pohon Natal dipasang gede-gede di setiap Mall. Ada seorang teman Muslim disana memasang pohon Natal pada bulan Desember, hanya karena dia demen hiasan tersebut. Di China negara Komunis, Natal juga menjadi marketing tools semua toko dihiasi pernak-pernik Natal.

Penyanyi senior Barry Manilow memproduksi DVD musik yang berjudul "Because it's Christmas" & "A Christmas Gift of Love" isinya khusus lagu-lagu Natal. Ia menciptakan lagu Natal dan menyanyikannya. Dalam sebuah wawancara di TV ia ditanya mengapa ia yang adalah orang Yahudi yang tidak merayakan Natal, menyanyikan lagu Natal? Ia menjawab dengan bercanda "Karena aku iri, aku tidak punya hari raya Natal".

Lagu klasik Natal "White Christmas" juga diciptakan oleh seorang yang bukan Kristen, Irving Berlin. Ia seorang Yahudi. Ia menciptakan lagu ini ditujukan kepada sahabatnya yang
Kristen.

Ada juga sinkretisasi hari raya ini menjadi perayaan "Chrismukkah" alias "Hanukkah and Christmas", bahkan perayaan 'Yahudi campur Kristen'. Ini sudah dikenal di Jerman sejak tahun 1800an M, disana dikenal dengan istilah "Weihnukkah" .

Marilah kita kaji, apa sih yang ada dibenak orang-orang itu (yang bukan Kristen) ketika mereka ingin merayakan Natal, bukankah itu dikaitkan dengan suatu momen khusus, merayakan, membuat pesta, mengadakan pertemuan khusus pada hari yang khusus bersama teman, keluarga, sanak, saudara, dll.

Maka, andaikata istilah "Christmas" itu tidak pernah diganti dengan istilah "Holiday Season", toh arti Christmas bagi mereka itu tidak akan pernah dikaitkan dengan Kristus. Bagi mereka mungkin merasa bahwa 25 Desember itu bukan hak-ciptanya kalangan Kristen secara eksklusif. Dan mereka tetap akan merayakannya dengan cara mereka sendiri yang tidak mendasarkannya pada dasar-dasar Kristianitas. Karena mereka memang hanya
mau "merayakan" saja tanpa embel-embel Kristus.

Disamping itu pula perhatian orang dalam merayakan "Holiday Season" itu bukan hanya pada 25 Desember tetapi juga untuk menyambut tahun yang baru 1 Januari.

Arti Natal bagi umat Kristiani sejak kapanpun dan sampai kapanpun akan selalu berbeda dengan cara perayaan orang-orang dunia itu baik dengan istilah "Christmas" atau tidak. Kita umat percaya memahami dan menghormati makna Natal karena ALLAH telah sudi lahir sebagai manusia, ALLAH Yang Maha-tinggi itu telah merendahkan Diri-NYA, serendah-rendahnya menjadi manusia, lahir sebagai manusia biasa bahkan terhina mati di kayu
salib.

Natal bagi umat Kristiani bukan sekedar perayaan, kumpul-kumpul, atau mengadakan kegiatan-kegiatan, tetapi Natal adalah lebih kepada peringatan akan kasih karunia ALLAH yang dahsyat.
http://www.gsn-soeki.com/wouw/

Bagi kita, umat Kristiani makna Natal tidak hanya jatuh pada bulan Desember, karena ini hanyalah tradisi dunia. Natal bagi kita dapat kita rayakan di bulan Desember bahkan di bulan-bulan yang lain. Setiap haripun bisa menjadi Natal. Rasul Paulus berkata "Ingatlah ini: Yesus Kristus, yang telah bangkit dari antara orang mati, yang telah dilahirkan sebagai keturunan Daud, itulah yang kuberitakan dalam Injilku." (2 Timotius 2:8 ).

Maka setiap kali kita mengingat kematian-NYA dalam Perjamuan Suci (Lukas 22:19), otomatis kita juga mengingat bahwa Ia pernah lahir. Kelahiran-NYA telah membawa Kabar
Baik, bahwa semua orang yang percaya akan memperoleh kehidupan yang kekal
(Yohanes 3:16).

Amin.

Merry Christmas
Selamat Natal
Happy Holidays!


TUHAN Memberkati

Oleh : Bagus Pramono - Sahabat Kristen

Cerita natal - Malam Saat Lonceng Berdentang

Memperoleh hikmat sungguh jauh melebihi memperoleh emas, dan mendapat pengertian jauh lebih berharga daripada mendapat perak. Amsal 16:16

Suatu hari, dahulu kala, sebuah gereja yang mengagumkan berdiri di sebuah bukit yang tinggi di sebuah kota yang besar. Jika dihiasi lampu-lampu untuk sebuah perayaan istimewa, gereja itu dapat dilihat hingga jauh di sekitarnya. Namun demikian ada sesuatu yang jauh lebih menakjubkan dari gereja ini ketimbang keindahannya: legenda yang aneh dan indah tentang loncengnya.

Di sudut gereja itu ada sebuah menara berwarna abu-abu yang tinggi, dan di puncak menara itu, demikian menurut kata orang, ada sebuah rangkaian lonceng yang paling indah di dunia. Tetapi kenyataannya tak ada yang pernah mendengar lonceng-lonceng ini selama bertahun-tahun. Bahkan tidak juga pada hari Natal. Karena merupakan suatu adat pada Malam Natal bagi semua orang untuk datang ke gereja membawa persembahan mereka bagi bayi Kristus. Dan ada masanya di mana sebuah persembahan yang sangat tidak biasa yang diletakkan di altar akan menimbulkan alunan musik yang indah dari lonceng-lonceng yang ada jauh di puncak menara. Ada yang mengatakan bahwa malaikatlah yang membuatnya berayun. Tetapi akhir-akhir ini tak ada persembahan yang cukup luar biasa yang layak memperoleh dentangan lonceng-lonceng itu.

Sekarang beberapa kilometer dari kota, di sebuah desa kecil, tinggal seorang anak laki-laki bernama Pedro dengan adik laki-lakinya. Mereka hanya tahu sangat sedikit tentang lonceng-lonceng Natal itu, tetapi mereka pernah mendengar mengenai kebaktian di gereja itu pada Malam Natal dan mereka memutuskan untuk pergi melihat perayaan yang indah itu.

Sehari sebelum Natal sungguh menggigit dinginnya, dengan salju putih yang telah mengeras di tanah. Pedro dan adiknya berangkat awal di siang harinya, dan meskipun cuaca dingin mereka mencapai pinggiran kota saat senja. Mereka baru saja akan memasuki salah satu pintu gerbang yang besar ketika Pedro melihat sesuatu berwarna gelap di salju di dekat jalan mereka.

Itu adalah seorang wanita yang malang, yang terjatuh tepat di luar pintu kota, terlalu sakit dan lelah untuk masuk ke kota di mana ia dapat memperoleh tempat berteduh. Pedro berusaha membangunkannya, tetapi ia hampir tak sadarkan diri. "Tak ada gunanya, Dik. Kau harus meneruskan seorang diri."
http://www.gsn-soeki.com/wouw/

"Tanpamu?" teriak adiknya. Pedro mengangguk perlahan. "Wanita ini akan mati kedinginan jika tak ada yang merawatnya. Semua orang mungkin sudah pergi ke gereja saat ini, tetapi kalau kamu pulang pastikan bahwa kau membawa seseorang untuk membantunya. Saya akan tinggal di sini dan berusaha menjaganya agar tidak membeku, dan mungkin menyuruhnya memakan roti yang ada di saku saya."

"Tapi saya tak dapat meninggalkanmu!" adiknya memekik. "Cukup salah satu dari kita yang tidak menghadiri kebaktian," kata Pedro. "Kamu harus melihat dan mendengar segala sesuatunya dua kali, sekali untukmu dan sekali untukku. Saya yakin bayi Kristus tahu betapa saya ingin menyembahNya. Dan jika kamu memperoleh kesempatan, bawalah potongan perakku ini dan saat tak seorangpun melihat, taruhlah sebagai persembahanku."

Demikianlah ia menyuruh adiknya cepat-cepat pergi ke kota, dan mengejapkan mata dengan susah payah untuk menahan air mata kekecewaannya.

Gereja yang besar tersebut sungguh indah malam itu; sebelumnya belum pernah terlihat seindah itu. Ketika organ mulai dimainkan dan ribuan orang bernyanyi, dinding-dinding gereja bergetar oleh suaranya.
http://www.gsn-soeki.com/wouw/

Pada akhir kebaktian tibalah saatnya untuk berbaris guna meletakkan persembahan di altar. Ada yang membawa permata, ada yang membawa keranjang yang berat berisi emas. Seorang penulis terkenal meletakkan sebuah buku yang telah ditulisnya selama bertahun-tahun. Dan yang terakhir, berjalanlah sang Raja negeri itu, sama seperti yang lain berharap ia layak untuk memperoleh dentangan lonceng Natal.

Gumaman yang keras terdengar di seluruh ruang gereja ketika sang Raja melepaskan dari kepalanya mahkota kerajaannya, yang dipenuhi batu-batu berharga, dan meletakkannya di altar. "Tentunya," semua berkata, "kita akan mendengar lonceng-lonceng itu sekarang!" Tetapi hanya hembusan angin dingin yang terdengar di menara.

Barisan orang sudah habis, dan paduan suara memulai lagu penutup. Tiba-tiba saja, pemain organ berhenti bermain. Nyanyian berhenti. Tak terdengar suara sedikitpun dari siapa saja di dalam gereja. Sementara semua orang memasang telinga baik-baik untuk mendengarkan, terdengarlah dengan perlahan-tetapi amat jelas-suara lonceng-lonceng di menara itu. Kedengaran sangat jauh tetapi sangat jelas, alunan musik itu terdengar jauh lebih manis daripada suara apapun yang pernah mereka dengar.
http://www.gsn-soeki.com/wouw/

Maka mereka semuapun berdiri bersama dan melihat ke altar untuk menyaksikan persembahan besar apakah yang membangunkan lonceng yang telah berdiam sekian lama. Tetapi yang mereka lihat hanyalah sosok kekanak-kanakan adik laki-laki Pedro, yang telah perlahan-lahan merangkak di sepanjang lorong kursi ketika tak seorangpun memperhatikan, dan meletakkan potongan kecil perak milik Pedro di altar.

Edited by Tatok Subagyo

Chicken Soup for the Christian Soul

Christmas Photo
Christmas Song
Greeting e-Cards
White Christmas Tree

Sunday, March 27, 2011

Cerita Rakyat - Pak Sakera

Sakera adalah seorang tokoh pejuang yang lahir di kelurahan Raci Kota Bangil, Pasuruan, Jatim, Indonesia. Ia berjuang melawan penjajahan Belanda pada awal abad ke-19. Sakera sadalah seorang jagoan daerah yang melawan penjajah Belanda di perkebunan tebu Kancil Mas Bangil. Legenda jagoan berdarah Bangil ini sangat populer di Jawa Timur utamanya di Pasuruan dan Madura.

Sakera bernama asli Sadiman yang bekerja sebagai mandor di perkebunan tebu milik pabrik gula kancil Mas Bangil. Ia dikenal sebagai seorang mandor yang baik hati dan sangat memperhatikan kesejahteraan para pekerja hingga dijuluki Pak Sakera (dalam bahasa kawi sakera memiliki arti ringan tangan, akrab/mempunyai banyak teman).

Suatu saat setelah musim giling selesai, pabrik gula tersebut membutuhkan banyak lahan baru untuk menanam tebu. Karena kepentingan itu orang Belanda pimpinan ambisius perusahaan ini ingin membeli lahan perkebunan yang seluas-luas dengan harga semurah-murahnya.dengan cara yang licik orang belanda itu menyuruh carik Rembang untuk bisa menyediakan lahan baru bagi perusahaan dalam jangka waktu singkat dan murah, dan dengan iming-iming harta dan kekayaan hingga carik Rembang bersedia memenuhi keinginan tersebut. Carik Rembang menggunakan cara-cara kekerasan kepada rakyat dalam mengupayakan tanah untuk perusahaan.

Sakera melihat ketidak adilan ini mencoba selalu membela rakyat dan berkali kali upaya carik Rembang gagal. Carik Rembang melaporkan hal ini kepada pemimpin perusahaan. Pemimpin perusahaan marah dan mengutus wakilnya Markus untuk membunuh Sakera. Suatu hari di perkebunan pekerja sedang istirahat, Markus marah-marah dan menghukum para pekerja serta menantang Sakera. Sakera yang dilapori hal ini marah dan membunuh Markus serta pengawalnya di kebon tebu. Sejak saat itu Sakera menjadi buronan polisi pemerintah Hindia Belanda. Suatu saat ketika Sakera berkunjung ke rumah ibunya, disana ia dikeroyok oleh carik Rembang dan polisi Belanda. Karena ibu Sakera diancam akan dibunuh maka Sakera ahirnya menyerah, Sakera pun masuk penjara Bangil.

Siksaan demi siksaan dilakukan polisi belanda kepada sakera setiap hari. selama dipenjara Pak Sakera selalu kangen dengan keluarga dirumahnya, Sakera memiliki istri yang sangat cantik bernama Marlena dan seorang keponakan bernama Brodin. Berbeda dengan Sakera yang berjiwa besar, Brodin adalah pemuda nakal yang suka berjudi dan sembunyi-sembunyi mengincar Marlena istri Sakera. Berkali kali Brodin berusaha untuk mendekati Marlena. Sementara Sakera ada dipenjara, Brodin berhasil berselingkuh dengan Marlena.

Ketika kabar itu sampai di telinga Sakera maka Sakera marah dan kabur dari penjara. Brodin pun tewas dibunuh Sakera. Kemudian Pak Sakera melakukan balas dendam secara berturut turut, dimulai Carik Rembang dibunuh, dilanjutkan dengan menghabisi para petinggi perkebunan yang memeras rakyat. Bahkan kepala polisi Bangil pun ditebas tanganya dengan senjata khasnya ‘Clurit’ ketika mencoba menangkap Sakera. Dengan cara yang licik pula polisi belanda mendatangi teman seperguruan sakera yang bernama Aziz untuk mencari kelemahan Pak Sakera. Dengan iming-iming akan diberi imbalan kekayaan oleh Goverment Belanda di Bangil Aziz menjebak Sakera dengan mengadakan tayuban, karena tahu Sakera paling senang acara tayuban akhirnya Sakera pun terjebak dan dilumpuhkan ilmunya degan pukulan bambu apus. Lagi-lagi belanda berhasil mertangkap kembali Pak Sakera yang kemudian diadili oleh Government Bangil dan diputuskan untuk dihukum gantung.

Sakera gugur digantung di penjara Bangil dan Ia dimakamkan di Bekacak, Kelurahan Kolursari (daerah paling selatan Kota Bangil).

Friday, March 25, 2011

Cerita Anak - Si Pahit Lidah

Tersebutlah kisah seorang pangeran dari daerah Sumidang bernama Serunting. Anak keturunan raksasa bernama Putri Tenggang ini, dikhabarkan berseteru dengan iparnya yang bernama Aria Tebing. Sebab permusuhan ini adalah rasa iri-hati Serunting terhadap Aria Tebing.

Dikisahkan, mereka memiliki ladang padi bersebelahan yang dipisahkan oleh pepohonan. Dibawah pepohonan itu tumbuhlah cendawan. Cendawan yang menghadap kearah ladang Aria tebing tumbuh menjadi logam emas. Sedangkan jamur yang menghadap ladang Serunting tumbuh menjadi tanaman yang tidak berguna.

Perseteruan itu, pada suatu hari telah berubah menjadi perkelahian. Menyadari bahwa Serunting lebih sakti, Arya Tebing menghentikan perkelahian tersebut. Ia berusaha mencari jalan lain untuk mengalahkan lawannya. Ia membujuk kakaknya (isteri dari Serunting) untuk memberitahukannya rahasia kesaktian Serunting.

Menurut kakaknya Aria Tebing, kesaktian dari Serunting berada pada tumbuhan ilalang yang bergetar (meskipun tidak ditiup angin). Bermodalkan informasi itu, Aria Tebing kembali menantang Serunting untuk berkelahi.

Dengan sengaja ia menancapkan tombaknya pada ilalang yang bergetar itu. Serunting terjatuh, dan terluka parah. Merasa dikhianati isterinya, ia pergi mengembara.

Serunting pergi bertapa ke Gunung Siguntang. Oleh Hyang Mahameru, ia dijanjikan kekuatan gaib. Syaratnya adalah ia harus bertapa di bawah pohon bambu hingga seluruh tubuhnya ditutupi oleh daun bambu. Setelah hampir dua tahun bersemedi, daun-daun itu sudah menutupi seluruh tubuhnya. Seperti yang dijanjikan, ia akhirnya menerima kekuatan gaib. Kesaktian itu adalah bahwa kalimat atau perkataan apapun yang keluar dari mulutnya akan berubah menjadi kutukan. Karena itu ia diberi julukan si Pahit Lidah.

Ia berniat untuk kembali ke asalnya, daerah Sumidang. Dalam perjalanan pulang tersebut ia menguji kesaktiannya. Ditepian Danau Ranau, dijumpainya terhampar pohon-pohon tebu yang sudah menguning. Si Pahit Lidah pun berkata, "jadilah batu." Maka benarlah, tanaman itu berubah menjadi batu. Seterusnya, ia pun mengutuk setiap orang yang dijumpainya di tepian Sungai Jambi untuk menjadi batu.

Namun, ia pun punya maksud baik. Dikhabarkan, ia mengubah Bukit Serut yang gundul menjadi hutan kayu. Di Karang Agung, dikisahkan ia memenuhi keinginan pasangan tua yang sudah ompong untuk mempunyai anak bayi

(Diadaptasi secara bebas dari Ny. S.D.B. Aman,"Si Pahit Lidah," Folk Tales From Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1976, pp. 25-28).

Thursday, March 24, 2011

Cerita anak - Raja Parakeet

Tersebutlah kisah, seekor raja burung parakeet hidup beserta rakyatnya di sebuah hutan di Aceh. Hidup mereka damai. Kedamaian tersebut terganggu, karena kehadiran seorang pemburu. Pada suatu hari pemburu tersebut berhasil menaruh perekat di sekitar sangkar-sangkar burung tersebut.


Mereka berusaha melepaskan sayap dan badan dari perekat tersebut. Namun upaya tersebut gagal. Hampir semuanya panik,kecuali si raja parakeet. Ia berkata, "Saudaraku, tenanglah. Ini adalah perekat yang dibuat oleh pemburu. Kalau pemburu itu datang, berpura-puralah mati. Setelah melepaskan perekat, pemburu itu akan memeriksa kita. Kalau ia mendapatkan kita mati, ia akan membuang kita. Tunggulah sampai hitungan ke seratus, sebelum kita bersama-sama terbang kembali.

Keesokan harinya, datanglah pemburu tersebut. Setelah melepaskan perekatnya, ia mengambil hasil tangkapannya. Betapa ia kecewa setelah mengetahui burung-burung tersebut sudah tidak bergerak, disangkanya sudah mati. Namun pemburu tersebut jatuh terpeleset, sehingga membuat burung-burung yang ada ditanah terkejut dan terbang. Hanya raja parakeet yang belum terlepas dari perekat. Iapun ditangkap.

Raja Parakeet meminta pada pemburu itu untuk tidak dibunuh. Sebagai imbalannya ia akan selalu menghibur si pemburu. Hampir tiap hari ia bernyanyi dengan merdunya. Khabar kemerduan suara burung itu terdengar sampai ke telinga sang Raja.

Raja menginginkan burung parakeet tersebut. Sang Raja kemudian menukar burung itu dengan harta-benda yang sangat banyak. Di istana sang Raja, burung parakeet ditaruh didalam sebuah sangkar emas. Setiap hari tersedia makanan yang enak-enak.

Namun burung parakeet tidak bahagia. Ia selalu ingat hutan Aceh tempat tinggalnya. Pada suatu hari ia berpura-pura mati. Sang Raja sangat sedih dan memerintahkan penguburannya dengan upacara kebesaran. Ketika persiapan berlangsung, burung itu diletakkan diluar sangkar. Saat itu ia gunakan untuk terbang mencari kebebasanya. Ia terbang menuju hutan kediamannya. Dimana rakyat burung parakeet setia menunggu kedatangannya.

(Diadaptasi secara bebas dari Ny. S.D.B. Aman,"How the Parakeet King Regained his Freedom," Folk Tales From Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1976, hal. 5-9).

Cerita Anak - Tupai dan Ikan Gabus

Di sebuah telaga di daerah Kalimantan barat, tersebutlah seekor tupai bersahabat dengan seekor ikan gabus. Persahabatan tersebut sangatlah kuatnya. Pada suatu hari si Ikan Gabus jatuh sakit. Badannya sangatlemah. Dengan setianya si Tupai menunggui temannya itu. Sudah beberapa hari si Ikan Gabus tidak enak makan. Maka si Tupai berusaha membujuknya. Namun si Ikan Gabus hanya mau makan kalau diberi makan hati ikan Yu.

Mendengar permintaan si Ikan Gabus, Si Tupai menjadi sangat sedih. Sulit sekali memenuhi permintaan sahabatnya itu. Ikan Yu adalah hewan yang sangat ganas dan hanya hidup di lautan lepas. Namun akhirnya ia memutuskan juga untuk mencarikannya.

Maka iapun meloncat-loncat dari pohon ke pohon hingga sampai ke sebuah pohon kelapa yang batangnya menjorok ke laut. Dengan perlahan si Tupai melobangi sebutir biji kelapa. Setelah airnya habis, iapun masuk ke dalam kelapa itu. Dari dalam kelapa itu ia masih dapat menggerogoti tangkai buah kelapa itu.

Tak lama kemudian buah kelapa itu sudah terlepas dari tangkainya dan tercebur ke laut lepas. Ombak laut itu sangat besar. sehingga dalam waktu tidak lama, buah kelapa itu sudah berada ditengah laut lepas. Tiba-tiba datanglah seekor Ikan Yu besar. Dengan segera ia menelan biji kelapa tersebut bulat-bulat. Setelah berada di dalam perut ikan itu, si Tupai lalu mengigiti hatinya. Ikan itu menggelepar-gelepar menuju pantai. Sesampainya di pantai, Ikan Yu sudah kehabisan tenaga dan akhirnya mati.

Dengan senang hati si Tupai membawa hati Ikan Yu itu untuk sahabatnya. Dengan ajaibnya setelah memakan hati Ikan Yu, Si Ikan Gabus menjadi sembuh total. Ia meloncat-loncat dengan gembiranya. Ia pun berjanji akan menolong si Tupai kalau ia sakit di hari kemudian.

(Diadaptasi secara bebas dari Warisa Ram, dkk. "Tupai dan Ikan Gabus" Cerita Rakyat Daerah Kalimantan Barat. Jakarta: Dept. P dan K, 1982. Hal. 26 - 28.)

Wednesday, March 23, 2011

Cerita Anak - Si Lancang

Alkisah tersebutlah sebuah cerita, di daerah Kampar pada zaman dahulu hiduplah si Lancang dengan ibunya. Mereka hidup dengan sangat miskin. Mereka berdua
bekerja sebagai buruh tani. Untuk memperbaiki hidupnya, maka Si Lancang berniat merantau. Pada suatu hari ia meminta ijin pada ibu dan guru ngajinya. Ibunya pun berpesan agar di rantau orang kelak Si Lancang selalu ingat pada ibu dan kampung halamannya. Ibunya berpesan agar Si Lancang jangan menjadi anak yang durhaka.

Si Lancang pun berjanji pada ibunya tersebut. Ibunya menjadi terharu saat Si Lancang menyembah lututnya untuk minta berkah. Ibunya membekalinya sebungkus lumping dodak, kue kegemaran Si Lancang.

Setelah bertahun-tahun merantau, ternyata Si Lancang sangat beruntung. Ia menjadi saudagar yang kaya raya. Ia memiliki berpuluh-puluh buah kapal dagang. Dikhabarkan ia pun mempunyai tujuh orang istri. Mereka semua berasal dari keluarga saudagar yang kaya. Sedangkan ibunya, masih tinggal di Kampar dalam keadaan yang sangat miskin.

Pada suatu hari, Si Lancang berlayar ke Andalas. Dalam pelayaran itu ia membawa ke tujuh isterinya. Bersama mereka dibawa pula perbekalan mewah dan alat-alat hiburan berupa musik. Ketika merapat di Kampar, alat-alat musik itu dibunyikan riuh rendah. Sementara itu kain sutra dan aneka hiasan emas dan perak digelar. Semuanya itu disiapkan untuk menambah kesan kemewahan dan kekayaan Si Lancang.

Berita kedatangan Si Lancang didengar oleh ibunya. Dengan perasaan terharu, ia bergegas untuk menyambut kedatangan anak satu-satunya tersebut. Karena miskinnya, ia hanya mengenakan kain selendang tua, sarung usang dan kebaya penuh tambalan. Dengan memberanikan diri dia naik ke geladak kapal mewahnya Si Lancang.

Begitu menyatakan bahwa dirinya adalah ibunya Si Lancang, tidak ada seorang kelasi pun yang mempercayainya. Dengan kasarnya ia mengusir ibu tua tersebut. Tetapi perempuan itu tidak mau beranjak. Ia ngotot minta untuk dipertemukan dengan anaknya Si Lancang. Situasi itu menimbulkan keributan.

Mendengar kegaduhan di atas geladak, Si Lancang dengan diiringi oleh ketujuh istrinya mendatangi tempat itu. Betapa terkejutnya ia ketika menyaksikan bahwa perempuan compang camping yang diusir itu adalah ibunya. Ibu si Lancang pun berkata, "Engkau Lancang ... anakku! Oh ... betapa rindunya hati emak padamu. Mendengar sapaan itu, dengan congkaknya Lancang menepis. Anak durhaka inipun berteriak, "mana mungkin aku mempunyai ibu perempuan miskin seperti kamu. Kelasi! usir perempuan gila ini."

Ibu yang malang ini akhirnya pulang dengan perasaan hancur. Sesampainya di rumah, lalu ia mengambil pusaka miliknya. Pusaka itu berupa lesung penumbuk padi dan sebuah nyiru. Sambil berdoa, lesung itu diputar-putarnya dan dikibas-kibaskannya nyiru pusakanya. Ia pun berkata, "ya Tuhanku ... hukumlah si Anak durhaka itu."

Dalam sekejap, turunlah badai topan. Badai tersebut berhembus sangat dahsyatnya sehingga dalam sekejap menghancurkan kapal-kapal dagang milik Si Lancang. Bukan hanya kapal itu hancur berkeping-keping, harta benda miliknya juga terbang ke mana-mana. Kain sutranya melayang-layang dan jatuh menjadi negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri. Gongnya terlempar ke Kampar Kanan dan menjadi Sungai Oguong. Tembikarnya melayang menjadi Pasubilah. Sedangkan tiang bendera kapal Si Lancang terlempar hingga sampai di sebuah danau yang diberi nama Danau Si Lancang.

(Disadur dari B. M. Syamsuddin, "Banjir Air Mata Si Lancang," Cerita Rakyat Dari Riau 2, Jakarta: PT Grasindo, hal. 44-49).

Monday, March 21, 2011

Legenda Banta Berensyah

Banta Berensyah adalah seorang anak laki-laki yatim dan miskin. Ia sangat rajin bekerja dan selalu bersabar dalam menghadapi berbagai hinaan dari pamannya yang bernama Jakub. Berkat kerja keras dan kesabarannya menerima hinaan tersebut, ia berhasil menikah dengan seorang putri raja yang cantik jelita dan dinobatkan menjadi raja. Bagaimana kisahnya? Ikuti cerita Banta Berensyah berikut ini!

Alkisah, di sebuah dusun terpencil di daerah Nanggro Aceh Darussalam, hiduplah seorang janda bersama seorang anak laki-lakinya yang bernama Banta Berensyah. Banta Berensyah seorang anak yang rajin dan mahir bermain suling. Kedua ibu dan anak itu tinggal di sebuah gubuk bambu yang beratapkan ilalang dan beralaskan dedaunan kering dengan kondisi hampir roboh. Kala hujan turun, air dengan leluasa masuk ke dalamnya. Bangunan gubuk itu benar-benar tidak layak huni lagi. Namun apa hendak dibuat, jangankan biaya untuk memperbaiki gubuk itu, untuk makan sehari-hari pun mereka kesulitan.

Untuk bertahan hidup, ibu dan anak itu menampi sekam di sebuah kincir padi milik saudaranya yang bernama Jakub. Jakub adalah saudagar kaya di dusun itu. Namun, ia terkenal sangat kikir, loba, dan tamak. Segala perbuatannya selalu diperhitungkan untuk mendapatkan keuntungan sendiri. Terkadang ia hanya mengupahi ibu Banta Berensyah dengan segenggam atau dua genggam beras. Beras itu hanya cukup dimakan sehari oleh janda itu bersama anaknya.

Pada suatu hari, janda itu berangkat sendirian ke tempat kincir padi tanpa ditemani Banta Berensyah, karena sedang sakit. Betapa kecewanya ia saat tiba di tempat itu. Tak seorang pun yang menumbuk padi. Dengan begitu, tentu ia tidak dapat menampi sekam dan memperoleh upah beras. Dengan perasaan kecewa dan sedih, perempuan paruh baya itu kembali ke gubuknya. Setibanya di gubuk, ia langsung menghampiri anak semata wayangnya yang sedang terbaring lemas. Wajah anak itu tampak pucat dan tubuhnya menggigil, karena sejak pagi perutnya belum terisi sedikit pun makanan.

“Ibu...! Banta lapar,” rengek Banta Berensyah.

Janda itu hanya terdiam sambil menatap lembut anaknya. Sebenarnya, hati kecilnya teriris-iris mendengar rengekan putranya itu. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa, karena tidak ada sama sekali makanan yang tersisa. Hanya ada segelas air putih yang berada di samping anaknya. Dengan perlahan, ia meraih gelas itu dan mengulurkannya ke mulut Banta Berensyah. Seteguk demi seteguk Banta Berensyah meminum air dari gelas itu sebagai pengganti makanan untuk menghilangkan rasa laparnya. Setelah meminum air itu, Banta merasa tubuhnya sedikit mendapat tambahan tenaga. Dengan penuh kasih sayang, ia menatap wajah ibunya. Lalu, perlahan-lahan ia bangkit dari tidurnya seraya mengusap air mata bening yang keluar dari kelopak mata ibunya.

“Kenapa ibu menangis?” tanya Banta dengan suara pelan.

Mulut perempuan paruh baya itu belum bisa berucap apa-apa. Dengan mata berkaca-kaca, ia hanya menghela nafas panjang. Banta pun menatap lebih dalam ke arah mata ibunya. Sebenarnya, ia mengerti alasan kenapa ibunya menangis.

“Bu! Banta tahu mengapa Ibu meneteskan air mata. Ibu menangis karena sedih tidak memperoleh upah hari ini,” ungkap Banta.

“Sudahlah, Bu! Banta tahu, Ibu sudah berusaha keras mencari nafkah agar kita bisa makan. Barangkali nasib baik belum berpihak kepada kita,” bujuknya.

Mendengar ucapan Banta Berensyah, perempuan paruh baya itu tersentak. Ia tidak pernah mengira sebelumnya jika anak semata wayangnya, yang selama ini dianggapnya masih kecil itu, ternyata pikirannya sudah cukup dewasa. Dengan perasaan bahagia, ia merangkul tubuh putranya sambil meneteskan air mata. Perasaan bahagia itu seolah-olah telah menghapus segala kepedihan dan kelelahan batin yang selama ini membebani hidupnya.

“Banta, Anakku! Ibu bangga sekali mempunyai anak sepertimu. Ibu sangat sayang kepadamu, Anakku,” ucap Ibu Banta dengan perasaan haru.

Kasih sayang dan perhatian ibunya itu benar-benar memberi semangat baru kepada Banta Berensyah. Tubuhnya yang lemas, tiba-tiba kembali bertenaga. Ia kemudian menatap wajah ibunya yang tampak pucat. Ia sadar bahwa saat ini ibunya pasti sedang lapar. Oleh karena itu, ia meminta izin kepada ibunya hendak pergi ke rumah pamannya, Jakub, untuk meminta beras. Namun, ibunya mencegahnya, karena ia telah memahami perangai saudaranya yang kikir itu.

“Jangan, Anakku! Bukankah kamu tahu sendiri kalau pamanmu itu sangat perhitungan. Ia tentu tidak akan memberimu beras sebelum kamu bekerja,” ujar Ibu Banta.

“Banta mengerti, Bu! Tapi, apa salahnya jika kita mencobanya dulu. Barangkali paman akan merasa iba melihat keadaan kita,” kata Banta Berensyah.

Berkali-kali ibunya mencegahnya, namun Banta Berensyah tetap bersikeras ingin pergi ke rumah pamannya. Akhirnya, perempuan yang telah melahirkannya itu pun memberi izin. Maka berangkatlah Banta Berensyah ke rumah pamannya. Saat ia masuk ke pekarangan rumah, tiba-tiba terdengar suara keras membentaknya. Suara itu tak lain adalah suara pamannya.

“Hai, anak orang miskin! Jangan mengemis di sini!” hardik saudagar kaya itu.

“Paman, kasihanilah kami! Berikanlah kami segenggam beras, kami lapar!” iba Banta Berensyah.

“Ah, persetan dengan keadaanmu itu. Kalian lapar atau mati sekalian pun, aku tidak perduli!” saudagar itu kembali menghardiknya dengan kata-kata yang lebih kasar lagi.

Betapa kecewa dan sakitnya hati Banta Berensyah. Bukannya beras yang diperoleh dari pamannya, melainkan cacian dan makian. Ia pun pulang ke rumahnya dengan perasaan sedih dan kesal. Tak terasa, air matanya menetes membasahi kedua pipinya.

Dalam perjalanan pulang, Banta Berensyah mendengar kabar dari seorang warga bahwa raja di sebuah negeri yang letaknya tidak berapa jauh dari dusunnya akan mengadakan sayembara. Raja negeri itu mempunyai seorang putri yang cantik jelita nan rupawan. Ia bagaikan bidadari yang menghimpun semua pesona lahir dan batin. Kulitnya sangat halus, putih, dan bersih. Saking putihnya, kulit putri itu seolah-olah tembus pandang. Jika ia menelan makanan, seolah-olah makanan itu tampak lewat ditenggorokannya. Itulah sebabnya ia diberi nama Putri Terus Mata. Setiap pemuda yang melihat kecantikannya pasti akan tergelitik hasratnya untuk mempersuntingnya. Sudah banyak pangeran yang datang meminangnya, namun belum satu pun pinangan yang diterima. Putri Terus Mata akan menerima lamaran bagi siapa saja yang sanggup mencarikannya pakaian yang terbuat dari emas dan suasa.

Mendengar kabar itu, Banta Berensyah timbul keinginannya untuk mengandu untung. Ia berharap dengan menikah dengan sang Putri, hidupnya akan menjadi lebih baik. Siapa tahu ia bernasib baik, pikirnya. Ia pun bergegas pulang ke gubuknya untuk menemui ibunya. Setibanya di gubuk, ia langsung duduk di dekat ibunya. Sambil mendekatkan wajahnya yang sedikit pucat karena lapar, Banta Berensyah menyampaikan perihal hasratnya mengikuti sayembara tersebut kepada ibunya. Ia berusaha membujuk ibunya agar keinginannya dikabulkan.
“Bu! Banta sangat sayang dan ingin terus hidup di samping ibu. Ibu telah berusaha memberikan yang terbaik untuk Banta. Kini Banta hampir beranjak dewasa. Saatnya Banta harus bekerja keras memberikan yang terbaik untuk Ibu. Jika Ibu merestui niat tulus ini, izinkanlah Banta merantau untuk mengubah nasib hidup kita!” pinta Banta Berensyah.

Perempuan paruh baya itu tak mampu lagi menyembunyikan kekagumannya kepada anak semata wayangnya itu. Ia pun memeluk erat Banta dengan penuh kasih sayang.

“Banta, Anakku! Kamu adalah anak yang berbakti kepada orangtua. Jika itu sudah menjadi tekadmu, Ibu mengizinkanmu walaupun dengan berat hati harus berpisah denganmu,” kata perempuan paruh baya itu.

“Tapi, bagaimana kamu bisa merantau ke negeri lain, Anakku? Apa bekalmu di perjalanan nanti? Jangankan untuk ongkos kapal dan bekal, untuk makan sehari-hari pun kita tidak punya,” tambahnya.

“Ibu tidak perlu memikirkan masalah itu. Cukup doa dan restu Ibu menyertai Banta,” kata Banta Berensyah.

Setelah mendapat restu dari ibunya, Banta Berensyah pun pergi ke sebuah tempat yang sepi untuk memohon petunjuk kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Setelah semalam suntuk berdoa dengan penuh khusyuk, akhirnya ia pun mendapat petunjuk agar membawa sehelai daun talas dan suling miliknya ke perantauan. Daun talas itu akan ia gunakan untuk mengarungi laut luas menuju ke tempat yang akan ditujunya. Sedangkan suling itu akan ia gunakan untuk menghibur para tukang tenun untuk membayar biaya kain emas dan suasa yang dia perlukan.

Keesokan harinya, usai berpamitan kepada ibunya, Banta Berensyah pun pergi ke rumah pamannya, Jakub. Ia bermaksud meminta tumpangan di kapal pamannya yang akan berlayar ke negeri lain. Setibanya di sana, ia kembali dibentak oleh pamannya.

“Ada apa lagi kamu kemari, hai anak malas!” seru sang Paman.

“Paman! Bolehkah Ananda ikut berlayar sampai ke tengah laut?” pinta Banta Berensyah.

Jakub tersentak mendengar permintaan aneh dari Banta Berensyah. Ia berpikir bahwa kemanakannya itu akan bunuh diri di tengah laut. Dengan senang hati, ia pun mengizinkannya. Ia merasa hidupnya akan aman jika anak itu telah mati, karena tidak akan lagi datang meminta-minta kepadanya. Akhirnya, Banta Berensyah pun ikut berlayar bersama pamannya. Begitu kapal yang mereka tumpangi tiba di tengah-tengah samudra, Banta meminta kepada pamannya agar menurunkannya dari kapal.

“Paman! Perjalanan Nanda bersama Paman cukup sampai di sini. Tolong turunkan Nanda dari kapal ini!” pinta Banta Betensyah.

Saudagar kaya itu pun segera memerintahkan anak buahnya untuk menurunkan Banta ke laut. Namun sebelum diturunkan, Banta mengeluarkan lipatan daun talas yang diselempitkan di balik pakaiannya. Kemudian ia membuka lipatan daun talas itu seraya duduk bersila di atasnya. Melihat kelakuan Banta itu, Jakub menertawainya.

“Ha... ha... ha...! Dasar anak bodoh!” hardik saudagar kaya itu.

“Pengawal! Turunkan anak ini dari kapal! Biarkan saja dia mati dimakan ikan besar!” serunya.

Namun, betapa terkejutnya saudagar kaya itu dan para anak buahnya setelah menurunkan Banta Berensyah ke laut. Ternyata, sehelai daun talas itu mampu menahan tubuh Banta Berensyah di atas air. Dengan bantuan angin, daun talas itu membawa Banta menuju ke arah barat, sedangkan pamannya berlayar menuju ke arah utara.

Setelah berhari-hari terombang-ambing di atas daun talas dihempas gelombang samudra, Banta Berensyah tiba di sebuah pulau. Saat pertama kali menginjakkan kaki di pulau itu, ia terkagum-kagum menyaksikan pemandangan yang sangat indah dan memesona. Hampir di setiap halaman rumah penduduk terbentang kain tenunan dengan berbagai motif dan warna sedang dijemur. Rupanya, hampir seluruh penduduk di pulau itu adalah tukang tenun.

Banta pun mampir ke salah satu rumah penduduk untuk menanyakan kain emas dan suasa yang sedang dicarinya. Namun, penghuni rumah itu tidak memiliki jenis kain tersebut. Ia pun pindah ke rumah tukang tenun di sebelahnya, dan ternyata si pemilik rumah itu juga tidak memilikinya. Berhari-hari ia berkeliling kampung dan memasuki rumah penduduk satu persatu, namun kain yang dicarinya belum juga ia temukan. Tinggal satu rumah lagi yang belum ia masuki, yaitu rumah kepala kampung yang juga tukang tenun.

“Tok... Tok... Tok.. ! Permisi, Tuan!” seru Banta Berensyah setelah mengetuk pintu rumah kepala kampung itu.

Beberapa saat kemudian, seorang laki-laki paruh baya membuka pintu dan mempersilahkannya masuk ke dalam rumah.

“Ada yang bisa kubantu, Anak Muda?” tanya kampung itu bertanya.

Setelah memperkenalkan diri dan menceritakan asal-usulnya, Banta pun menyampaikan maksud kedatangannya.

“Maaf, Tuan! Kedatangan saya kemari ingin mencari kain tenun yang terbuat dari emas dan suasa. Jika Tuan memilikinya, bolehkah saya membelinya?” pinta Banta Berensyah.

Kepala kampung itu tersentak kaget mendengar permintaan Banta, apalagi setelah melihat penampilan Banta yang sangat sederhana itu.

“Hai, Banta! Dengan apa kamu bisa membayar kain emas dan suasa itu? Apakah kamu mempunyai uang yang cukup untuk membayarnya?”

“Maaf, Tuan! Saya memang tidak mampu membayarnya dengan uang. Tapi, jika Tuan berkenan, bolehkah saya membayarnya dengan lagu?” pinta Banta Berensyah seraya mengeluarkan sulingnya.

Melihat keteguhan hati Banta Berensyah hendak memiliki kain tenun tersebut, kepala kampung itu kembali bertanya kepadanya.

“Banta! Kalau boleh saya tahu, kenapa kamu sangat menginginkan kain itu?”

Banta pun menceritakan alasannya sehingga ia harus berjuang untuk mendapatkan kain tersebut. Karena iba mendengar cerita Banta, akhirnya kepala kampung itu memenuhi permintaannya. Dengan keahliannya, Banta pun memainkan sulingnya dengan lagu-lagu yang merdu. Kepala kampung itu benar-benar terbuai menikmati senandung lagu yang dibawakan Banta. Setelah puas menikmatinya, ia pun memberikan kain emas dan suasa miliknya kepada Banta.

“Kamu sangat mahir bermain suling, Banta! Kamu pantas mendapatkan kain emas dan suasa ini,” ujar kepala kampung itu.

“Terima kasih, Tuan! Banta sangat berhutang budi kepada Tuan. Banta akan selalu mengingat semua kebaikan hati Tuan,” kata Banta.

Setelah mendapatkan kain emas dan suasa tersebut, Banta pun meninggalkan pulau itu. Ia berlayar mengarungi lautan luas menuju ke kampung halamannya dengan menggunakan daun talas saktinya. Hati anak muda itu sangat gembira. Ia tidak sabar lagi ingin menyampaikan berita gembira itu kepada ibunya dan segera mempersembahkan kain emas dan suasa itu kepada Putri Terus Mata.

Namun, nasib malang menimpa Banta. Ketika sampai di tengah laut, ia bertemu dan ikut dengan kapal Jakub yang baru saja pulang berlayar dari negeri lain. Saat ia berada di atas kapal itu, kain emas dan suasa yang diperolehnya dengan susah payah dirampas oleh Jakub. Setelah kainnya dirampas, ia dibuang ke laut. Dengan perasaan bangga, Jakub membawa pulang kain tersebut untuk mempersunting Putri Terus Mata.

Sementara itu, Banta yang hanyut terbawa arus gelombang laut terdampar di sebuah pantai dan ditemukan oleh sepasang suami-istri yang sedang mencari kerang. Sepasang suami-istri itu pun membawanya pulang dan mengangkatnya sebagai anak. Setelah beberapa lama tinggal bersama kedua orang tua angkatnya tersebut, Banta pun memohon diri untuk kembali ke kampung halamannya menemui ibunya dengan menggunakan daun talas saktinya. Setiba di gubuknya, ia pun disambut oleh ibunya dengan perasaan suka-cita. Kemudian, Banta pun menceritakan semua kejadian yang telah dialaminya.

“Maafkan Banta, Bu! Sebenarnya Banta telah berhasil mendapatkan kain emas dan suasa itu, tetapi Paman Jakub merampasnya,” Banta bercerita kepada ibunya dengan perasaan kecewa.

“Sudahlah, Anakku! Ibu mengerti perasaanmu. Barangkali belum nasibmu mempersunting putri raja,” ujar Ibunya.

“Tapi, Bu! Banta harus mendapatkan kembali kain emas dan suasa itu dari Paman. Kain itu milik Banta,” kata Banta dengan tekad keras.

“Semuanya sudah terlambat, Anakku!” sahut ibunya.

“Apa maksud Ibu berkata begitu?” tanya Banta penasaran.

“Ketahuilah, Anakku! Pamanmu memang sungguh beruntung. Saat ini, pesta perkawinannya dengan putri raja sedang dilangsungkan di istana,” ungkap ibunya.

Tanpa berpikir panjang, Banta segera berpamitan kepada ibunya lalu bergegas menuju ke tempat pesta itu dilaksanakan. Namun, setibanya di kerumunan pesta yang berlangsung meriah itu, Banta tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai bukti untuk menunjukkan kepada raja dan sang Putri bahwa kain emas dan suasa yang dipersembahkan Jakub itu adalah miliknya. Sejenak, ia menengadahkan kedua tangannya berdoa meminta pertolongan kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Begitu ia selesai berdoa, tiba-tiba datanglah seekor burung elang terbang berputar-putar di atas keramaian pesta sambil berbunyi.

“Klik.. klik... klik... kain emas dan suasa itu milik Banta Berensyah...!!! Klik... klik.. klik... kain emas dan suasa itu milik Banta Berensyah...!!!” demikian bunyi elang itu berulang-ulang.

Mendengar bunyi elang itu, seisi istana menjadi gempar. Suasana pesta yang meriah itu seketika menjadi hening. Bunyi elang itu pun semakin jelas terdengar. Akhirnya, Raja dan Putri Terus Mata menyadari bahwa Jakub adalah orang serakah yang telah merampas milik orang lain. Sementara itu Jakub yang sedang di pelaminan mulai gelisah dan wajahnya pucat. Karena tidak tahan lagi menahan rasa malu dan takut mendapat hukuman dari Raja, Jakub melarikan diri melalui jendela. Namun, saat akan meloncat, kakinya tersandung di jendela sehingga ia pun jatuh tersungkur ke tanah hingga tewas seketika.

Setelah peristiwa itu, Banta Berensyah pun dinikahkan dengan Putri Terus Mata. Pesta pernikahan mereka dilangsungkan selama tujuh hari tujuh malam dengan sangat meriah. Tidak berapa lama setelah mereka menikah, Raja yang merasa dirinya sudah tua menyerahkan jabatannya kepada Banta Berensyah. Banta Berensyah pun mengajak ibunya untuk tinggal bersamanya di istana. Akhirnya, mereka pun hidup berbahagia bersama seluruh keluarga istana.

* * *

Demikian cerita dongeng Banta Berensyah dari daerah Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia. Sedikitnya ada dua pelajaran penting yang dapat dipetik dari kisah di atas. Pertama, orang yang senantiasa berusaha dan bekerja keras, pada akhirnya akan memperoleh keberhasilan. Sebagaimana ditunjukkan oleh perilaku Banta Berensyah, berkat kerja keras dan kesabarannya, ia berhasil mempersunting putri raja dan menjadi seorang raja. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

wahai ananda cahaya mata,
rajin dan tekun dalam bekerja
penat dan letih usah dikira
supaya kelak hidupmu sejahtera
Pelajaran kedua yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa orang kaya yang kikir dan serakah seperti Jakub, pada akhirnya akan mendapat balasan yang setimpal. Ia tewas akibat keserakahannya. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

apa tanda orang tamak,
karena harta marwah tercampak
(Samsuni/sas/150/06-09)

Sumber:
•Isi cerita diadaptasi dari L. K. Ara. 1999. “Banta Berensyah,” dalam Cerita Rakyat dari Aceh. Jakarta: Grasindo.
•-Anonim. “Nanggroe Aceh Darussalam, http://id.wikipedia.org/wiki/Nanggroe_Aceh_Darussalam, diaskes pada tanggal 23 Juni 2000.
•Effendy, Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan Penerbit AdiCita Karya Nusa.
•Effendy, Tenas. 1994/1995. “Ejekan” terhadap Orang MelRata Penuh
ayu Riau dan Pantangan Orang Melayu Riau. Pekanbaru: Bappeda Tingkat I Riau.

Sunday, March 20, 2011

Legenda Rakyat - Si Pitung

Si Pitung adalah seorang pemuda yang soleh dari Rawa Belong. Ia rajin belajar mengaji pada Haji Naipin. Selesai belajar mengaji ia pun dilatih silat. Setelah bertahun- tahun kemampuannya menguasai ilmu agama dan bela diri makin meningkat.

Pada waktu itu Belanda sedang menjajah Indonesia. Si Pitung merasa iba menyaksikan penderitaan yang dialami oleh rakyat kecil. Sementara itu, kumpeni (sebutan untuk Belanda), sekelompok Tauke dan para Tuan tanah hidup bergelimang kemewahan. Rumah dan ladang mereka dijaga oleh para centeng yang galak.

Dengan dibantu oleh teman-temannya si Rais dan Jii, Si Pitung mulai merencanakan perampokan terhadap rumah Tauke dan Tuan tanah kaya. Hasil rampokannya dibagi-bagikan pada rakyat miskin. Di depan rumah keluarga yang kelaparan diletakkannya sepikul beras. Keluarga yang dibelit hutang rentenir diberikannya santunan. Dan anak yatim piatu dikiriminya bingkisan baju dan hadiah lainnya.

Kesuksesan si Pitung dan kawan-kawannya dikarenakan dua hal. Pertama, ia memiliki ilmu silat yang tinggi serta dikhabarkan tubuhnya kebal akan peluru. Kedua, orang-orang tidak mau menceritakan dimana si Pitung kini berada. Namun demikian orang kaya korban perampokan Si Pitung bersama kumpeni selalu berusaha membujuk orang-orang untuk membuka mulut.

Kumpeni juga menggunakan kekerasan untuk memaksa penduduk memberi keterangan. Pada suatu hari, kumpeni dan tuan-tuan tanah kaya berhasil mendapat informasi tentang keluarga si Pitung. Maka merekapun menyandera kedua orang tuanya dan si Haji Naipin. Dengan siksaan yang berat akhirnya mereka mendapatkan informasi tentang dimana Si Pitung berada dan rahasia kekebalan tubuhnya.

Berbekal semua informasi itu, polisi kumpeni pun menyergap Si Pitung. Tentu saja Si Pitung dan kawan-kawannya melawan. Namun malangnya, informasi tentang rahasia kekebalan tubuh Si Pitung sudah terbuka. Ia dilempari telur-telur busuk dan ditembak. Ia pun tewas seketika.Meskipun demikian untuk Jakarta, Si Pitung tetap dianggap sebagai pembela rakyat kecil.

(Diadaptasi secara bebas dari RahmRata Penuhat Ali, "Si Pitung," Cerita Rakyat Betawi 1, Jakarta: PT. Grasindo, 1993, hal. 1-7)

Saturday, March 19, 2011

Cerita Rakyat - Si Sigarlaki dan Si Limbat

Pada jaman dahulu di Tondano hiduplah seorang pemburu perkasa yang bernama Sigarlaki. Ia sangat terkenal dengan keahliannya menombak. Tidak satupun sasaran yang luput dari tombakannya. Sigarlaki mempunyai seorang pelayan yang sangat setia yang bernama Limbat. Hampir semua pekerjaan yang diperintahkan oleh Sigarlaki dikerjakan dengan baik oleh Limbat. Meskipun terkenal sebagai pemburu yang handal, pada suatu hari mereka tidak berhasil memperoleh satu ekor binatang buruan. Kekesalannya akhirnya memuncak ketika Si Limbat melaporkan pada majikannya bahwa daging persediaan mereka di rumah sudah hilang dicuri orang.

Tanpa pikir panjang, si Sigarlaki langsung menuduh pelayannya itu yang mencuri daging persediaan mereka. Si Limbat menjadi sangat terkejut. Tidak pernah diduga majikannya akan tega menuduh dirinya sebagai pencuri.

Lalu Si Sigarlaki meminta Si Limbat untuk membuktikan bahwa bukan dia yang mencuri. Caranya adalah Sigarlaki akan menancapkan tombaknya ke dalam sebuah kolam. Bersamaan dengan itu Si Limbat disuruhnya menyelam. Bila tombak itu lebih dahulu keluar dari kolam berarti Si Limbat tidak mencuri. Apabila Si Limbat yang keluar dari kolam terlebih dahulu maka terbukti ia yang mencuri.

Syarat yang aneh itu membuat Si Limbat ketakutan. Tetapi bagaimanapun juga ia berkehendak untuk membuktikan dirinya bersih. Lalu ia pun menyelam bersamaan dengan Sigarlaki menancapkan tombaknya.

Baru saja menancapkan tombaknya, tiba-tiba Sigarlaki melihat ada seekor babi hutan minum di kolam. Dengan segera ia mengangkat tombaknya dan dilemparkannya ke arah babi hutan itu. Tetapi tombakan itu luput. Dengan demikian seharusnya Si Sigarlaki sudah kalah dengan Si Limbat. Tetapi ia meminta agar pembuktian itu diulang lagi.

Dengan berat hati Si Limbat pun akhirnya mengikuti perintah majikannya. Baru saja menancapkan tombaknya di kolam, tiba-tiba kaki Sigarlaki digigit oleh seekor kepiting besar. Iapun menjerit kesakitan dan tidak sengaja mengangkat tombaknya. Dengan demikian akhirnya Si Limbat yang menang. Ia berhasil membuktikan dirinya tidak mencuri. Sedangkan Sigarlaki karena sembarangan menuduh, terkena hukuman digigit kepiting besar.

(Diadaptasi secara bebas dari Drs. J Inkiriwang dkk, "Sigarlaki dan si Limbat," Dept. P dan K, Cerita Rakyat Daerah Sulawesi Utara, Jakarta: Dept. P dan K, 1978/1979)

Friday, March 18, 2011

Cerita Rakyat Asal Mula Cheng Beng (Sembahyang Kubur)

Diceritakan pada zaman Dinasti Ming ada seorang anak bernama Cu Guan Ciong (Zhu Yuan Zhang, pendiri Dinasti Ming) yang berasal dari sebuah keluarga yang sangat miskin. Dalam membesarkan dan mendidik Cu Guan Ciong, orangtuanya meminta bantuan kepada sebuah kuil.

Tai Zu

Tai Zu

Semakin dewasa, karma Cu Guan Ciong semakin baik. Sehingga ketika dewasa, Beliau menjadi seorang kaisar. Setelah menjadi kaisar, Cu Guan Ciong kembali ke desa untuk menjumpai orangtuanya. Sesampainya di desa ternyata orangtuanya telah meninggal dunia dan tidak diketahui keberadaan makamnya.

Kemudian untuk mengetahui keberadaan makam orangtuanya, sebagai seorang kaisar, Cu Guan Ciong memberi tintah kepada seluruh rakyatnya untuk melakukan ziarah dan membersihkan makam leluhur mereka masing-masing pada hari yang telah ditentukan (5 April). Selain itu, diperintahkan juga untuk memberikan tanda kertas kuning di atas makam-makam tersebut.

Setelah semua rakyat selesai berizarah, kaisar memeriksa makam-makam yang ada di desa dan menemukan makam-makam yang belum dibesihkan serta tidak diberi tanda. Kemudian kaisar menziarahi makam-makam tersebut dengan berasumsi bahawa di antara makam-makam tersebut pastilah merupakan makam orangtua, sanak keluarga, dan leluhurnya. Hal ini kemudian dijadikan tradisi untuk setiap tahunnya.

Bakti kepada orang tua adalah dasar dari segala perbuatan. Yang paling utama adalah bakti saat orang tua masih hidup yaitu dengan berusaha membalas jerih payah mereka membersearkan kita. Saat orang tua telah meninggal dunia, kita mengenang dan mengingat kembali budi-budi mereka dan sekuat tenaga membalasanya.

Disadur dari selebaran Upacara Peringatan Cheng Beng yang diterbitkan oleh Maitricittena, Ekayana Buddhist Center

Wednesday, March 16, 2011

Ceita Anak - Seekor Singa

Alkisah, di sebuah hutan belantara ada seekor induk singa yang mati setelah melahirkan anaknya. Bayi singa yang lemah itu hidup tanpa perlindungan induknya. Beberapa waktu kemudian serombongan kambing datang melintasi tempat itu. Bayi singa itu menggerakgerakkan tubuhnya yang lemah. Seekor induk kambing tergerak hatinya. Ia merasa iba melihat anak singa yang lemah dan hidup sebatang kara. Dan terbitlah nalurinya untuk merawat dan melindungi bayi singa itu.Sang induk kambing lalu menghampiri bayi singa itu dan membelai dengan penuh kehangatan dan kasih sayang. Merasakan hangatnya kasih sayang seperti itu, sibayi singa tidak mau berpisah dengan sang induk kambing. Ia terus mengikuti ke mana saja induk kambing pergi. Jadilah ia bagian dari keluarga besar rombongan kambing itu. Hari berganti hari, dan anak singa tumbuh dan besar dalam asuhan induk kambing dan hidup dalam komunitas kambing. Ia menyusu, makan, minum, bermain bersama anak-anak kambing lainnya.

Tingkah lakunya juga layaknya kambing. Bahkan anak singa yang mulai berani dan besar itu pun mengeluarkan suara layaknya kambing yaitu mengembik bukan mengaum! la merasa dirinya adalah kambing, tidak berbeda dengan kambing-kambing lainnya. Ia sama sekali tidak pernah merasa bahwa dirinya adalah seekor singa.

Suatu hari, terjadi kegaduhan luar biasa. Seekor serigala buas masuk memburu kambing untuk dimangsa. Kambing-kambing berlarian panik. Semua ketakutan. Induk kambing yang juga ketakutan meminta anak singa itu untuk menghadapi serigala.

“Kamu singa, cepat hadapi serigala itu! Cukup keluarkan aumanmu yang keras dan serigala itu pasti lari ketakutan!” Kata induk kambing pada anak singa yang sudah tampak besar dan kekar. tapi anak singa yang sejak kecil hidup di tengah-tengah komunitas kambing itu justru ikut ketakutan dan malah berlindung di balik tubuh induk kambing. Ia berteriak sekeras-kerasnya dan yang keluar dari mulutnya adalah suara embikan. Sama seperti kambing yang lain bukan auman. Anak singa itu tidak bisa berbuat apa-apa ketika salah satu anak kambing yang tak lain adalah saudara sesusuannya diterkam dan dibawa lari serigala.

Induk kambing sedih karena salah satu anaknya tewas dimakan serigala. Ia menatap anak singa dengan perasaan nanar dan marah, “Seharusnya kamu bisa membela kami! Seharusnya kamu bisa menyelamatkan saudaramu! Seharusnya bisa mengusir serigala yang jahat itu!”

Anak singa itu hanya bisa menunduk. Ia tidak paham dengan maksud perkataan induk kambing. Ia sendiri merasa takut pada serigala sebagaimana kambing-kambing lain. Anak singa itu merasa sangat sedih karena ia tidak bisa berbuat apa-apa.

Hari berikutnya serigala ganas itu datang lagi. Kembali memburu kambing-kambing untuk disantap. Kali ini induk kambing tertangkap dan telah dicengkeram oleh serigala. Semua kambing tidak ada yang berani menolong. Anak singa itu tidak kuasa melihat induk kambing yang telah ia anggap sebagai ibunya dicengkeram serigala. Dengan nekat ia lari dan menyeruduk serigala itu. Serigala kaget bukan kepalang melihat ada seekor singa di hadapannya. Ia melepaskan cengkeramannya. Serigala itu gemetar ketakutan! Nyalinya habis! Ia pasrah, ia merasa hari itu adalah akhir hidupnya!

Dengan kemarahan yang luar biasa anak singa itu berteriak keras, “Emmbiiik!”

Lalu ia mundur ke belakang. Mengambil ancang ancang untuk menyeruduk lagi.

Melihat tingkah anak singa itu, serigala yang ganas dan licik itu langsung tahu bahwa yang ada di hadapannya adalah singa yang bermental kambing. Tak ada bedanya dengan kambing. Seketika itu juga ketakutannya hilang. Ia menggeram marah dan siap memangsa kambing bertubuh singa itu! Atau singa bermental kambing itu!

Saat anak singa itu menerjang dengan menyerudukkan kepalanya layaknya kambing, sang serigala telah siap dengan kuda-kudanya yang kuat. Dengan sedikit berkelit, serigala itu merobek wajah anak singa itu dengan cakarnya. Anak singa itu terjerembab dan mengaduh, seperti kambing mengaduh. Sementara induk kambing menyaksikan peristiwa itu dengan rasa cemas yang luar biasa. Induk kambing itu heran, kenapa singa yang kekar itu kalah dengan serigala. Bukankah singa adalah raja hutan?

Tanpa memberi ampun sedikitpun serigala itu menyerang anak singa yang masih mengaduh itu. Serigala itu siap menghabisi nyawa anak singa itu. Di saat yang kritis itu, induk kambing yang tidak tega, dengan sekuat tenaga menerjang sang serigala. Sang serigala terpelanting. Anak singa bangun.

Dan pada saat itu, seekor singa dewasa muncul dengan auman yang dahsyat.

Semua kambing ketakutan dan merapat! Anak singa itu juga ikut takut dan ikut merapat. Sementara sang serigala langsung lari terbirit-birit. Saat singa dewasa hendak menerkam kawanan kambing itu, ia terkejut di tengah-tengah kawanan kambing itu ada seekor anak singa.

Beberapa ekor kambing lari, yang lain langsung lari. Anak singa itu langsung ikut lari. Singa itu masih tertegun. Ia heran kenapa anak singa itu ikut lari mengikuti kambing? Ia mengejar anak singa itu dan berkata, “Hai kamu jangan lari! Kamu anak singa, bukan kambing! Aku takkan memangsa anak singa!

Namun anak singa itu terus lari dan lari. Singa dewasa itu terus mengejar. Ia tidak jadi mengejar kawanan kambing, tapi malah mengejar anak singa. Akhirnya anak singa itu tertangkap. Anak singa itu ketakutan,

“Jangan bunuh aku, ammpuun!”

“Kau anak singa, bukan anak kambing. Aku tidak membunuh anak singa!”

Dengan meronta-ronta anak singa itu berkata, “Tidak aku anak kambing! Tolong lepaskan aku!”

Anak singa itu meronta dan berteriak keras. Suaranya bukan auman tapi suara embikan, persis seperti suara kambing.

Sang singa dewasa heran bukan main. Bagaimana mungkin ada anak singa bersuara kambing dan bermental kambing. Dengan geram ia menyeret anak singa itu ke danau. Ia harus menunjukkan siapa sebenarnya anak singa itu. Begitu sampai di danau yang jernih airnya, ia meminta anak singa itu melihat bayangan dirinya sendiri.

Lalu membandingkan dengan singa dewasa.

Begitu melihat bayangan dirinya, anak singa itu terkejut, “Oh, rupa dan bentukku sama dengan kamu. Sama dengan singa, si raja hutan!”

“Ya, karena kamu sebenarnya anak singa. Bukan anak kambing!” Tegas singa dewasa.

“Jadi aku bukan kambing? Aku adalah seekor singa!”

“Ya kamu adalah seekor singa, raja hutan yang berwibawa dan ditakuti oleh seluruh isi hutan! Ayo aku ajari bagaimana menjadi seekor raja hutan!” Kata sang singa dewasa.

Singa dewasa lalu mengangkat kepalanya dengan penuh wibawa dan mengaum dengan keras. Anak singa itu lalu menirukan, dan mengaum dengan keras. Ya mengaum, menggetarkan seantero hutan. Tak jauh dari situ serigala ganas itu lari semakin kencang, ia ketakutan mendengar auman anak singa itu.

Anak singa itu kembali berteriak penuh kemenangan, “Aku adalah seekor singa! Raja hutan yang gagah perkasa!”

Singa dewasa tersenyum bahagia mendengarnya.

http://dongeng.org/dongeng/seekor-anak-singa.html

Tuesday, March 15, 2011

Legenda Rakyat - Asal Usul Telaga Warna

Zaman dahulu, ada sebuah kerajaan di Jawa Barat bernama Kutatanggeuhan. Kutatanggeuhan merupakan kerajaan yang makmur dan damai. Rakyatnya hidup tenang dan sejahtera karena dipimpin oleh raja yang bijaksana. Raja Kutatanggeuhan bernama Prabu Suwartalaya dan permaisurinya bernama Ratu Purbamanah. Raja dan ratu sangant bijaksana sehingga kerjaan yang dipimpin makmur dan tenteram.

Semua sangat menyenangkan. Sayangnya, Prabu dan istrinya belum memiliki anak. Itu membuat pasangan kerajaan itu sangat sedih. Penasehat Prabu menyarankan, agar mereka mengangkat anak. Namun Prabu dan Ratu tidak setuju. “Buat kami, anak kandung adalah lebih baik dari pada anak angkat,” sahut mereka.

Ratu sering murung dan menangis. Prabu pun ikut sedih melihat istrinya. Lalu Prabu pergi ke hutan untuk bertapa. Di sana sang Prabu terus berdoa, agar dikaruniai anak. Beberapa bulan kemudian, keinginan mereka terkabul. Ratu pun mulai hamil. Seluruh rakyat di kerajaan itu senang sekali. Mereka membanjiri istana dengan hadiah.

Sembilan bulan kemudian, Ratu melahirkan seorang putri yang diberinama Gilang Rukmini . Penduduk negeri pun kembali mengirimi putri kecil itu aneka hadiah. Bayi itu tumbuh menjadi anak yang lucu. Belasan tahun kemudian, ia sudah menjadi remaja yang cantik.

Prabu dan Ratu sangat menyayangi putrinya. Mereka memberi putrinya apa pun yang dia inginkan. Namun itu membuatnya menjadi gadis yang manja. Kalau keinginannya tidak terpenuhi, gadis itu akan marah. Ia bahkan sering berkata kasar. Walaupun begitu, orangtua dan rakyat di kerajaan itu mencintainya.

Hari berlalu, Putri pun tumbuh menjadi gadis tercantik di seluruh negeri. Dalam beberapa hari, Putri akan berusia 17 tahun. Maka para penduduk di negeri itu pergi ke istana. Mereka membawa aneka hadiah yang sangat indah. Prabu mengumpulkan hadiah-hadiah yang sangat banyak itu, lalu menyimpannya dalam ruangan istana. Sewaktu-waktu, ia bisa menggunakannya untuk kepentingan rakyat.

Prabu hanya mengambil sedikit emas dan permata. Ia membawanya ke ahli perhiasan. “Tolong, buatkan kalung yang sangat indah untuk putriku,” kata Prabu. “Dengan senang hati, Yang Mulia,” sahut ahli perhiasan. Ia lalu bekerja d sebaik mungkin, dengan sepenuh hati. Ia ingin menciptakan kalung yang paling indah di dunia, karena ia sangat menyayangi Putri.

Hari ulang tahun pun tiba. Penduduk negeri berkumpul di alun-alun istana. Ketika Prabu dan Ratu datang, orang menyambutnya dengan gembira. Sambutan hangat makin terdengar, ketika Putri yang cantik jelita muncul di hadapan semua orang. Semua orang mengagumi kecantikannya.

Prabu lalu bangkit dari kursinya. Kalung yang indah sudah dipegangnya. “Putriku tercinta, hari ini aku berikan kalung ini untukmu. Kalung ini pemberian orang-orang dari penjuru negeri. Mereka sangat mencintaimu. Mereka mempersembahkan hadiah ini, karena mereka gembira melihatmu tumbuh jadi dewasa. Pakailah kalung ini, Nak,” kata Prabu.

Putri menerima kalung itu. Lalu ia melihat kalung itu sekilas. “Aku tak mau memakainya. Kalung ini jelek!” seru Putri. Kemudian ia melempar kalung itu. Kalung yang indah pun rusak. Emas dan permatanya tersebar di lantai.

Itu sungguh mengejutkan. Tak seorang pun menyangka, Putri akan berbuat seperti itu. Tak seorang pun bicara. Suasana hening. Tiba-tiba meledaklah tangis Ratu Purbamanah. Dia sangat sedih melihat kelakuan putrinya.Akhirnya semua pun meneteskan air mata, hingga istana pun basah oleh air mata mereka. Mereka terus menangis hingga air mata mereka membanjiri istana, dan tiba-tiba saja dari dalam tanah pun keluar air yang deras, makin lama makin banyak. Hingga akhirnya kerajaan Kutatanggeuhan tenggelam dan terciptalah sebuah danau yang sangat indah.

Di hari yang cerah, kita bisa melihat danau itu penuh warna yang indah dan mengagumkan. Warna itu berasal dari bayangan hutan, tanaman, bunga-bunga, dan langit di sekitar telaga. Namun orang mengatakan, warna-warna itu berasal dari kalung Putri yang tersebar di dasar telaga.

Cerita Rakyat - Arti Nama Kota Surabaya

Setidaknya ada tiga keterangan tentang muasal nama Surabaya. Keterangan pertama menyebutkan, nama Surabaya awalnya adalah Churabaya, desa tempat menyeberang di tepian Sungai Brantas. Hal itu tercantum dalam prasasti Trowulan I tahun 1358 Masehi. Nama Surabaya juga tercantum dalam Pujasastra Negara Kertagama yang ditulis Mpu Prapanca. Dalam tulisan itu Surabaya (Surabhaya) tercantum dalam pujasastra tentang perjalanan pesiar pada tahun 1365 yang dilakukan Hayam Wuruk, Raja Majapahit.

Namun Surabaya sendiri diyakini oleh para ahli telah ada pada tahun-tahun sebelum prasasti-prasasti tersebut dibuat. Seorang peneliti Belanda, GH Von Faber dalam karyanya En Werd Een Stad Geboren (Telah Lahir Sebuah Kota) membuat hipotesis, Surabaya didirikan Raja Kertanegara tahun 1275, sebagai pemukiman baru bagi para prajuritnya yang telah berhasil menumpas pemberontakan Kemuruhan tahun 1270 M.

Versi berikutnya, nama Surabaya berkait erat dengan cerita tentang perkelahian hidup dan mati antara Adipati Jayengrono dan Sawunggaling. Konon, setelah mengalahkan tentara Tartar (Mongol), Raden Wijaya yang merupakan raja pertama Majapahit, mendirikan kraton di Ujung Galuh, sekarang kawasan pelabuhan Tanjung Perak, dan menempatkan Adipati Jayengrono untuk memimpin daerah itu. Lama-lama Jayengrono makin kuat dan mandiri karena menguasai ilmu Buaya, sehingga mengancam kedaulatan Majapahit.

Untuk menaklukkan Jayengrono, diutuslah Sawunggaling yang menguasai ilmu Sura. Adu kesaktian dilakukan di pinggir Sungai Kalimas dekat Paneleh. Perkelahian adu kesaktian itu berlangsung tujuh hari tujuh malam dan berakhir tragis, keduanya meninggal kehabisan tenaga.

Dalam versi lainnya lagi, kata Surabaya muncul dari mitos pertempuran antara ikan Suro (Sura) dan Boyo (Baya atau Buaya), perlambang perjuangan antara darat dan laut. Penggambaran pertarungan itu terdapat dalam monumen suro dan boyo yang ada dekat kebun binatang di Jalan Setail Surabaya

Versi terakhir, dikeluarkan pada tahun 1975, ketika Walikota Subaya Soeparno menetapkan tanggal 31 Mei 1293 sebagai hari jadi Kota Surabaya. Ini berarti pada tahun 2005 Surabaya sudah berusia 712 tahun. Penetapan itu berdasar kesepakatan sekelompok sejarawan yang dibentuk pemerintah kota bahwa nama Surabaya berasal dari kata sura ing bhaya yang berarti keberanian menghadapi bahaya.

Monday, March 14, 2011

Cerita Rakyat - Nyai Anteh Sang Penunggu Bulan

Nyi Anteh Pada jaman dahulu kala di Jawa Barat ada sebuah kerajaan bernama kerajaan Pakuan. Pakuan adalah kerajaan yang sangat subur dan memiliki panorama alam yang sangat indah. Rakyatnya pun hidup damai di bawah pimpinan raja yang bijaksana. Di dalam istana ada dua gadis remaja yang sama-sama jelita dan selalu kelihatan sangat rukun. Yang satu bernama Endahwarni dan yang satu lagi bernama Anteh. Raja dan Ratu sangat menyayangi keduanya, meski sebenarnya kedua gadis itu memiliki status sosial yang berbeda. Putri Endahwarni adalah calon pewaris kerajaan Pakuan, sedangkan Nyai Anteh adalah hanya anak seorang dayang kesayangan sang ratu. Karena Nyai Dadap, ibu Nyai Anteh sudah meninggal saat melahirkan Anteh, maka sejak saat itu Nyai Anteh dibesarkan bersama putri Endahwarni yang kebetulan juga baru lahir. Kini setelah Nyai Anteh menginjak remaja, dia pun diangkat menjadi dayang pribadi putri Endahwarni.

“Kau jangan memanggilku Gusti putri kalau sedang berdua denganku,” kata putri. “Bagiku kau tetap adik tercintaku. Tidak perduli satatusmu yang hanya seorang dayang. Ingat sejak bayi kita dibesarkan bersama, maka sampai kapan pun kita akan tetap bersaudara. Awas ya! Kalau lupa lagi kamu akan aku hukum!”

“Baik Gust…..eh kakak!” jawab Nyai Anteh.

“Anteh, sebenarnya aku iri padamu,” kata putri.

“Ah, iri kenapa kak. Saya tidak punya sesuatu yang bisa membuat orang lain iri,” kata Anteh heran.

“Apa kau tidak tahu bahwa kamu lebih cantik dariku. Jika kamu seorang putri, pasti sudah banyak pangeran yang meminangmu,” ujar putri sambil tersenyum.

“Ha ha ha.. kakak bisa saja. Mana bisa wajah jelek seperti ini dibilang cantik. Yang cantik tuh kak Endah, kemarin saja waktu pangeran dari kerajaan sebrang datang, dia sampai terpesona melihat kakak. Iya kan kak?” jawab Anteh dengan semangat.

“Ah kamu bisa saja. Itu karena waktu itu kau memilihkan baju yang cocok untukku. O ya kau buat di penjahit mana baju itu?” tanya putri.

“Eeee…itu…itu…saya yang jahit sendiri kak.” jawab Anteh.

“Benarkah? Wah aku tidak menyangka kau pandai menjahit. Kalau begitu lain kali kau harus membuatkan baju untukku lagi ya. Hmmmm…mungkin baju pengantinku?” seru putri.

“Aduh mana berani saya membuat baju untuk pernikahan kakak. Kalau jelek, saya pasti akan dimarahi rakyat,” kata Anteh ketakutan.

“Tidak akan gagal! Kemarin baju pesta saja bisa… jadi baju pengantin pun pasti bisa,” kata putri tegas.

Suatu malam ratu memanggil putri Endahwarni dan Nyai Anteh ke kamarnya. “Endah putriku, ada sesuatu yang ingin ibu bicarakan,” kata ratu.

“Ya ibu,” jawab putri.

“Endah, kau adalah anakku satu-satunya. Kelak kau akan menjadi ratu menggantikan ayahmu memimpin rakyat Pakuan,” ujar ratu. “Sesuai ketentuan keraton kau harus memiliki pendamping hidup sebelum bisa diangkat menjadi ratu.”

“Maksud ibu, Endah harus segera menikah?” tanya putri.

“ya nak, dan ibu juga ayahmu sudah berunding dan sepakat bahwa calon pendamping yang cocok untukmu adalah Anantakusuma, anak adipati dari kadipaten wetan. Dia pemuda yang baik dan terlebih lagi dia gagah dan tampan. Kau pasti akan bahagia bersamanya,” kata ratu. “Dan kau Anteh, tugasmu adalah menjaga dan menyediakan keperluan kakakmu supaya tidak terjadi apa-apa padanya.”

“Baik gusti ratu,” jawab Anteh.

Malam itu putri Endahwarni meminta Nyai Anteh untuk menemaninya. “Aku takut sekali Anteh,” kata putri dengan sedih. “Bagaimana aku bisa menikah dengan orang yang sama sekali tidak aku kenal. Bagaimana kalau dia tidak mencintaiku?”

“Kakak jangan berpikiran buruk dulu,” hibur Anteh. “Saya yakin gusti Raja dan Ratu tidak akan sembarangan memilih jodoh buat kakak. Dan pemuda mana yang tidak akan jatuh hati melihat kecantikan kakak. Ah sudahlah, kakak tenang dan berdoa saja. Semoga semuanya berjalan lancar.”

Suatu pagi yang cerah, Anteh sedang mengumpulkan bunga melati untuk menghias sanggul putri Endahwarni. Anteh senang menyaksikan bunga-bunga yang bermekaran dan kupu-kupu saling berebut bunga. Dia mulai bersenandung dengan gembira. Suara Anteh yang merdu terbang tertiup angin melewati tembok istana. Saat itu seorang pemuda tampan sedang melintas di balik tembok taman istana. Dia tepesona mendengar suara yang begitu merdu. Ternyata pemuda itu adalah Anantakusuma. Dia sangat sakti, maka tembok istana yang begitu tinggi dengan mudah dilompatinya. Dia bersembunyi di balik gerumbulan bunga, dan tampaklah olehnya seorang gadis yang sangat cantik. Anantakusuma merasakan dadanya bergetar, “alangkah cantiknya dia, apakah dia putri Endahwarni calon istriku?” batinnya. Anantakusuma keluar dari persembunyiannya. Anteh terkejut ketika tiba-tiba di hadapannya muncul pemuda yang tidak dikenalnya.

“Siapa tuan?” tanya Anteh.

“Aku Anantakusuma. Apakah kau…..” Belum sempat Anantakusuma bertanya seseorang memanggil Anteh. “Anteh!!! Cepat!!! Putri memanggilmu!” kata seorang dayang.

“Ya. Saya segera datang. Maaf tuan saya harus pergi,” kata Anteh yang langsung lari meninggalkan Anantakusuma.

“Dia ternyata bukan Endahwarni,” pikir Anantakusuma. “Dan aku jatuh cinta padanya. Aku ingin dialah yang jadi istriku.”

Beberapa hari kemudian, di istana terlihat kesibukan yang lain daripada biasanya. Hari ini Adipati wetan akan datang bersama anaknya, Anantakusuma, untuk melamar putri Endahwarni secara resmi. Raja dan Ratu menjamu tamunya dengan sukacita. Putri Endahwarni juga tampak senang melihat calon suaminya yang sangat gagah dan tampan. Lain halnya dengan Anantakusuma yang terlihat tidak semangat. Dia kecewa karena ternyata bukan gadis impiannya yang akan dinikahinya.

Tibalah saat perjamuan. Anteh dan beberapa dayang istana lainnya masuk ke ruangan dengan membawa nampan-nampan berisi makanan.

“Silahkan mencicipi makanan istimewa istana ini,” kata Anteh dengan hormat.

“Terima kasih Anteh, silahkan langsung dicicipi,” kata Raja kepada para tamunya.
Anantakusuma tertegun melihat gadis impiannya kini ada di hadapannya. Kerongkongannya terasa kering dan matanya tak mau lepas dari Nyai Anteh yang saat itu sibuk mengatur hidangan. Kejadian itu tidak luput dari perhatian putri Endahwarni. Pahamlah ia bahwa calon suaminya telah menaruh hati pada gasis lain, dan gadis itu adalah Anteh. Putri Endahwarni merasa cemburu, kecewa dan sakit hati. Timbul dendam di hatinya pada Anteh. Dia merasa Antehlah yang bersalah sehinggga Anantakusuma tidak mencintainya.

Setelah perjamuan selesai dan putri kembali ke kamarnya, Anteh menemui sang putri.

“Bagaimana kak? Kakak senang kan sudah melihat calon suami kakak? Wah ternyata dia sangat tampan ya?” kata Anteh. Hati putri Endahwarni terasa terbakar mendengar kata-kata Anteh. Dia teringat kembali bagaimana Anantakusuma memandang Anteh dengan penuh cinta.

“Anteh, mulai saat ini kau tidak usah melayaniku. Aku juga tidak mau kau ada di dekatku. Aku tidak mau melihat wajahmu,” kata putri Endahwarni.

“A..apa kesalahanku kak? Kenapa kakak tiba-tiba marah begitu?” tanya Anteh kaget.

“Pokoknya aku sebal melihat mukamu!” bentak putri. “Aku tidak mau kau dekat-dekat denganku lagi…Tidak! Aku tidak mau kau ada di istana ini. Kau harus pergi dari sini hari ini juga!”

“Tapi kenapa kak? Setidaknya katakanlah apa kesalahanku?” tangis Anteh.

“Ah jangan banyak tanya. Kau sudah mengkianatiku. Karena kau Anantakusuma tidak mencintaiku. Dia mencintaimu. Aku tahu itu. Dan itu karena dia melihat kau yang lebih cantik dariku. Kau harus pergi dari sini Anteh, biar Anantakusuma bisa melupakanmu!” kata putri.

“Baiklah kak, aku akan pergi dari sini. Tapi kak, sungguh saya tidak pernah sedikitpun ingin mengkhianati kakak. Tolong sampaikan permohonan maaf dan terima kasih saya pada Gusti Raja dan Ratu.”

Anteh beranjak pergi dari kamar putri Endahwarni menuju kamarnya lalu mulai mengemasi barang-barangnya. Kepada dayang lainnya dia berpesan untuk menjaga putri Endahwarni dengan baik.

Nyai Anteh berjalan keluar dari gerbang istana tanpa tahu apa yang harus dilakukannya di luar istana. Tapi dia memutuskan untuk pergi ke kampung halaman ibunya. Anteh belum pernah pergi kesana, tapi waktu itu beberapa dayang senior pernah menceritakannya. Ketika hari sudah hampir malam, Anteh tiba di kampung tempat ibunya dilahirkan. Ketika dia sedang termenung memikirkan apa yang harus dilakukan, tiba-tiba seorang laki-laki yang sudah berumur menegurnya.

“Maaf nak, apakah anak bukan orang sini?” tanyanya.

“Iya paman, saya baru datang!” kata Anteh ketakutan.

“Oh maaf bukan maksudku menakutimu, tapi wajahmu mengingatkanku pada seseorang. Wajahmu mirip sekali dengan kakakku Dadap,”

“Dadap? Nama ibuku juga Dadap. Apakah kakak paman bekerja di istana sebagai dayang?” tanya Anteh.

“Ya….! Apakah….kau anaknya Dadap?” tanya paman itu.

“Betul paman!” jawab Anteh.

“Oh, kalau begitu kau adalah keponakanku. Aku adalah pamanmu Waru, adik ibumu,” kata paman Waru dengan mata berkaca-kaca.

“Benarkah? Oh paman akhirnya aku menemukan keluarga ibuku!” kata Anteh dengan gembira.

“Sedang apakah kau disini? Bukankah kau juga seorang dayang?” tanya paman Waru.

“Ceritanya panjang paman. Tapi bolehkah saya minta ijin untuk tinggal di rumah paman. Saya tidak tahu harus kemana,” pinta Anteh.

“Tentu saja nak, kau adalah anakku juga. Tentu kau boleh tinggal di rumahku. Ayo kita pergi!” kata paman Waru.

Sejak saat itu Anteh tinggal di rumah pamannya di desa. Untuk membantu pamannya, Anteh menerima pesanan menjahit baju. Mula-mula Anteh menjahitkan baju-baju tetangga, lama-lama karena jahitannya yang bagus, orang-orang dari desa yang jauh pun ikut menjahitkan baju mereka kepada Anteh. Sehingga ia dan keluarga pamannya bisa hidup cukup dari hasilnya menjahit.

Bertahun-tahun telah berlalu. Anteh kini sudah bersuami dan memiliki dua orang anak. Suatu hari di depan rumahnya berhenti sebuah kereta kencana dan banyak sekali pengawal yang menunggang kuda. Begitu pemilik kereta kencana itu melongokkan kepalanya, Anteh menjerit. Ternyata itu adalah putri Endahwarni. Putri Endahwarni turun dari kereta dan langsung menangis memeluk Anteh.

“Oh Anteh, sudah lama aku mecarimu! Kemana saja kau selama ni? Kenapa tidak sekalipun kau menghubungiku? Apakah aku benar-benar menyakiti hatimu? Maafkan aku Anteh. Waktu itu aku kalap, sehingga aku mengusirmu padahal kau tidak bersalah. Maafkan aku…” tangis putri.

“Gusti…jangan begitu. Seharusnya aku yang minta maaf karena telah membuatmu gusar,” kata Anteh.

“Tidak. Akulah yang bersalah. Untuk itu Anteh, kau harus ikut denganku kembali ke istana!” pinta putri.

“Tapi putri aku sekarang punya suami dan anak. Saya juga bekerja sebagai penjahit. Jika saya pergi, mereka akan kehilangan,” jawab Anteh.

“Suami dan anak-anakmu tentu saja harus kau bawa juga ke istana,” kata putri sambil tertawa. “Mengenai pekerjaanmu, kau akan kuangkat sebagai penjahit istana. Bagaimana? Kau tidak boleh menolak, ini perintah!”

Akhirnya Anteh dan keluarganya pindah ke istana. Putri Endahwarni telah membuatkan sebuah rumah di pinggir taman untuk mereka tinggal. Namun Anteh selalu merasa tidak enak setiap bertemu dengan pangeran Anantakusuma, suami putri Endahwarni. Pangeran Anantakusuma ternyata tidak pernah melupakan gadis impiannya. Kembalinya Anteh telah membuat cintanya yang terkubur bangkit kembali. Mulanya pangeran Anantakusuma mencoba bertahan dengan tidak memperdulikan kehadiran Anteh. Namun semakin lama cintanya semakin menggelora.

Hingga suatu malam pangeran Anantakusuma nekat pergi ke taman istana, siapa tahu dia bisa bertemu dengan Anteh. Benar saja. Dilihatnya Anteh sedang berada di beranda rumahnya, sedang bercanda dengan Candramawat, kucing kesayangannya sambil menikmati indahnya sinar bulan purnama. Meski kini sudah berumur, namun bagi pangeran Anantakusuma, Anteh masih secantik dulu saat pertama mereka bertemu. Perlahan-lahan didekatinya Anteh.

“Anteh!” tegurnya. Anteh terkejut. Dilihatnya pangeran Antakusuma berdiri di hadapannya.

“Pa..pangeran? kenapa pangeran kemari? Bagaimana kalau ada orang yang melihat?” tanya Anteh ketakutan.

“Aku tidak perduli. Yang penting aku bisa bersamamu. Anteh tahukah kau? Bahwa aku sangat mencintaimu. Sejak kita bertemu di taman hingga hari ini, aku tetap mencintaimu,” kata pangeran.

“Pangeran, kau tidak boleh berkata seperti itu. Kau adalah suami putri Endahwarni. Dia adalah kakak yang sangat kucintai. Jika kau menyakitinya, itu sama saja kau menyakitiku,” kata Anteh sambil memeluk Candramawat.

“Aku tidak bisa… Aku tidak bisa melupakanmu! Kau harus menjadi milikku Anteh! Kemarilah biarkan aku memelukmu!” kata pangeran sambil berusaha memegang tangan Anteh.

Anteh mundur dengan ketakutan. “Sadarlah pangeran! Kau tidak boleh mengkhianati Gusti putri.”
Namun pangeran Ananta kusuma tetap mendekati Anteh.

Anteh yang ketakutan berusaha melarikan diri. Namun pangeran Anantakusuma tetap mengejarnya. “Oh Tuhan, tolonglah hambaMu ini!” doa Anteh, “Berilah hamba kekuatan untuk bisa lepas dari pangeran Anantakusuma. Hamba tahu dia sangat sakti. Karena itu tolonglah Hamba. Jangan biarkan dia menyakiti hamba dan kakak hamba!”

Tiba-tiba Anteh merasa ada kekuatan yang menarik tubuhnya ke atas. Dia mendongak dan dilihatnya sinar bulan menyelimutinya dan menariknya. Pangeran Anantakusuma hanya bisa terpana menyaksikan kepergian Anteh yang semakin lama semakin tinggi dan akhirnya hilang bersama sinar bulan yang tertutup awan.

Sejak saat itu Nyai Anteh tinggal di bulan, sendirian dan hanya ditemani kucing kesayangannya. Dia tidak bisa kembali ke bumi karena takut pangeran Anantakusuma akan mengejarnya. Jika rindunya pada keluarganya sudah tak dapat ditahan, dia akan menenun kain untuk dijadikan tangga. Tapi sayang tenunannya tidak pernah selesai karena si kucing selalu merusaknya. Kini jika bulan purnama kita bisa melihat bayangan Nyai Anteh duduk menenun ditemani Candramawat. Begitulah kisah Nyai Anteh sang penunggu bulan.

Friday, March 11, 2011

Legenda Selat Bali

Pada jaman dulu di kerajaan Daha hiduplah seorang Brahmana yang benama Sidi Mantra yang sangat terkenal kesaktiannya. Sanghyang Widya atau Batara Guru menghadiahinya harta benda dan seorang istri yang cantik. Sesudah bertahun-tahun kawin, mereka mendapat seorang anak yang mereka namai Manik Angkeran.

Meskipun Manik Angkeran seorang pemuda yang gagah dan pandai namun dia mempunyai sifat yang kurang baik, yaitu suka berjudi. Dia sering kalah sehingga dia terpaksa mempertaruhkan harta kekayaan orang tuanya, malahan berhutang pada orang lain. Karena tidak dapat membayar hutang, Manik Angkeran meminta bantuan ayahnya untuk berbuat sesuatu. Sidi Mantra berpuasa dan berdoa untuk memohon pertolongan dewa-dewa. Tiba-tiba dia mendengar suara, “Hai, Sidi Mantra, di kawah Gunung Agung ada harta karun yang dijaga seekor naga yang bernarna Naga Besukih. Pergilah ke sana dan mintalah supaya dia mau memberi sedikit hartanya.”

Sidi Mantra pergi ke Gunung Agung dengan mengatasi segala rintangan. Sesampainya di tepi kawah Gunung Agung, dia duduk bersila. Sambil membunyikan genta dia membaca mantra dan memanggil nama Naga Besukih. Tidak lama kernudian sang Naga keluar. Setelah mendengar maksud kedatangan Sidi Mantra, Naga Besukih menggeliat dan dari sisiknya keluar emas dan intan. Setelah mengucapkan terima kasih, Sidi Mantra mohon diri. Semua harta benda yang didapatnya diberikan kepada Manik Angkeran dengan harapan dia tidak akan berjudi lagi. Tentu saja tidak lama kemudian, harta itu habis untuk taruhan. Manik Angkeran sekali lagi minta bantuan ayahnya. Tentu saja Sidi Mantra menolak untuk membantu anakya.

Manik Angkeran mendengar dari temannya bahwa harta itu didapat dari Gunung Agung. Manik Angkeran tahu untuk sampai ke sana dia harus membaca mantra tetapi dia tidak pernah belajar mengenai doa dan mantra. Jadi, dia hanya membawa genta yang dicuri dari ayahnya waktu ayahnya tidur.

Setelah sampai di kawah Gunung Agung, Manik Angkeran membunyikan gentanya. Bukan main takutnya ia waktu ia melihat Naga Besukih. Setelah Naga mendengar maksud kedatangan Manik Angkeran, dia berkata, “Akan kuberikan harta yang kau minta, tetapi kamu harus berjanji untuk mengubah kelakuanmu. Jangan berjudi lagi. Ingatlah akan hukum karma.”

Manik Angkeran terpesona melihat emas, intan, dan permata di hadapannya. Tiba-tiba ada niat jahat yang timbul dalam hatinya. Karena ingin mendapat harta lebih banyak, dengan secepat kilat dipotongnya ekor Naga Besukih ketika Naga beputar kembali ke sarangnya. Manik Angkeran segera melarikan diri dan tidak terkejar oleh Naga. Tetapi karena kesaktian Naga itu, Manik Angkeran terbakar menjadi abu sewaktu jejaknya dijilat sang Naga.

Mendengar kematian anaknya, kesedihan hati Sidi Mantra tidak terkatakan. Segera dia mengunjungi Naga Besukih dan memohon supaya anaknya dihidupkan kembali. Naga menyanggupinya asal ekornya dapat kembali seperti sediakala. Dengan kesaktiannya, Sidi Mantra dapat memulihkan ekor Naga. Setelah Manik Angkeran dihidupkan, dia minta maaf dan berjanji akan menjadi orang baik. Sidi Mantra tahu bahwa anaknya sudah bertobat tetapi dia juga mengerti bahwa mereka tidak lagi dapat hidup bersama.

“Kamu harus mulai hidup baru tetapi tidak di sini,” katanya. Dalam sekejap mata dia lenyap. Di tempat dia berdiri timbul sebuah sumber air yang makin lama makin besar sehingga menjadi laut. Dengan tongkatnya, Sidi Mantra membuat garis yang mernisahkan dia dengan anaknya. Sekarang tempat itu menjadi selat Bali yang memisahkan pulau Jawa dengan pulau Bali.

Sumber: www.seasite.niu.edu

Thursday, March 10, 2011

Cerita si Burung Parkit

Nanggro Aceh Darussalam merupakan propinsi di Indonesia yang kaya, subur dan makmur. Sejauh mata memandang, hamparan hutan belantara terbentang hijau bagai permadani. Di tengah hutan belantara tersebut hidup beraneka jenis binatang seperti orang utan, trenggiling, bluok, kuntul, alap-alap putih, burung dara laut, burung raja udang, dan termasuk burung parakeet. Dalam hutan itu, lahirlah sebuah cerita fabel di kalangan masyarakat Aceh yang mengisahkan tentang kecerdikan seorang raja burung parakeet bernama si Parkit, yang mampu menyelamatkan diri dari seorang Pemburu yang berniat membunuhnya.

Konon, di tengah hutan belantara itu, hiduplah sekawanan burung parakeet yang hidup damai, tenteram, dan makmur. Setiap hari mereka bernyanyi riang dengan suara merdu bersahut-sahutan dan saling membantu mencari makanan. Kawanan burung tersebut dipimpin oleh seorang raja parakeet yang bernama si Parkit. Namun, di tengah suasana bahagia itu, kedamaian mereka terusik oleh kedatangan seorang Pemburu. Ternyata, ia berniat menangkap dan menjual burung parakeet tersebut. Pelan-pelan tapi pasti, si Pemburu itu melangkah ke arah kawanan burung parakeet itu, lalu memasang perekat di sekitar sarang-sarangnya. “Ehm….Aku akan kaya raya dengan menjual kalian!”, gumam si Pemburu setelah selesai memasang banyak perekat. Si Pemburu itu pun tersenyum terus memba­yangkan uang yang akan diperolehnya.

Gumaman si Pemburu tersebut didengar kawanan burung parakeet, sehingga mereka menjadi ketakutan. Mereka berkicau-kicau untuk mengingatkan antara satu sama lainnya. “Hati-hati! Pemburu itu telah memasang perekat di se­kitar sarang kita! Jangan sam­pai tertipu! Sebaiknya kita tidak terbang ke mana-mana dulu!” seru seekor burung parakeet. “Ya, betul! Kita memang ha­rus berhati-hati,” sahut burung parakeet yang lain. Namun, karena harus mencari makan, burung-burung parakeet itu pun keluar dari sarangnya. Alhasil, apa yang ditakutkan burung-burung parakeet itu pun terjadi. Bencana tak terelakkan, burung-burung parakeet itu terekat pada perekat si Pemburu. Mereka meronta-ronta untuk melepaskan diri dari perekat tersebut, namun usaha mereka sia-sia. Kawanan burung parakeet tersebut menjadi panik dan bingung, kecuali si Parkit, raja parakeet.

Melihat rakyatnya kebingungan, Raja Parakeet berkata, “Tenang, Rakyatku! Ini adalah perekat yang dipasang si Pemburu. Berarti dia ingin menangkap kita hidup-hidup. Jadi, kalau kita mati, si Pemburu itu tidak akan mengambil kita. Besok, ketika si Pemburu itu datang, kita pura-pura mati saja!”, mendegar penjelasan raja Parakeet itu, rakyatnya terdiam. Sejenak, suasana menjadi hening. Di tengah keheningan itu, “Berpura-pura mati? Untuk apa?”, tanya seekor parakeet, membuat burung parakeet lainnya menoleh ke arahnya. Si Parkit tersenyum mendengar pertanyaan itu, “Besok, setelah si Pemburu melepaskan kita dari perekat yang dipasangnya, dia akan memeriksa kita satu per satu. Bila dilihatnya kita telah mati, maka dia akan meninggalkan kita di sini. Tunggu sampai hitunganku yang ke seratus agar kita dapat terbang secara bersama-sama!”. Semua rakyatnya ternganga mendengar penjelasan si Parkit. “Oh, begitu..!? Baiklah, besok kita akan ber­pura-pura mati agar dapat be­bas dari Pemburu itu!”, sahut rakyatnya setuju.

Kini, rakyatnya sudah mengerti apa yang direnca­nakan oleh si Parkit. Mereka ber­janji akan menuruti pe­rintah rajanya. Keesokan harinya, si Pemburu pun datang. Dengan sangat hati-hati, si Pemburu melepaskan burung parakeet tersebut satu persatu dari perekatnya. Ia sangat kecewa, karena tak satu pun burung parakeet yang bergerak. Dikiranya burung parakeet tersebut telah mati semua, ia pun membiarkannya. Dengan rasa kesal, si Pemburu berjalan seenaknya, tiba-tiba ia jatuh terpeleset. Kawanan burung parakeet yang berpura-pura mati di sekitarnya pun kaget dan terbang dengan seketika tanpa menunggu hitungan dari si Parkit. Si Pemburu pun berdiri kaget, karena ia merasa telah ditipu oleh kawanan burung parakeet itu. Namun, tiba-tiba ia tersenyum, karena melihat ada seekor burung parakeet yang masih melekat pada perekatnya. Lalu ia menghampiri burung parakeet tersebut, yang tidak lain adalah si Parkit. “Kamu akan kubunuh!”, bentak si Pemburu dengan marah. Si Parkit sangat ketakutan mendengar bentakan si Pemburu.

Si Parkit yang cerdik itu, tidak mau kehilangan akal. Ia segera berpikir untuk menyelematkan diri, karena ia tidak mau dibunuh oleh si Pemburu itu. “Ampuni hamba, Tuan! Jangan bunuh hamba! Lepaskan hamba, Tuan!” pinta si Parkit. “Enak saja! Kamu dan teman-temanmu telah me­nipuku. Kalau tidak, pasti aku sudah banyak menang­kap kalian!” kata si Pemburu dengan marah. “Iya. Tapi itu kan bukan salahku. Ampuni hamba, Tuan! Hamba akan menghibur Tuan setiap hari!” kata si Parkit memohon. “Menghiburku?” tanya si Pemburu. “Betul, Tuan. Hamba akan bernyanyi setiap hari untuk Tuan!” seru si Parkit. Si Pem­buru diam sejenak memikirkan tawaran burung parakeet itu. “Memangnya suaramu bagus?” tanya si Pemburu itu mulai tertarik. Si Parkit pun bernyanyi. Suara si Parkit yang merdu itu berhasil mumbujuk si Pemburu, sehingga ia tidak jadi dibunuh. “Baiklah, aku tidak akan membu­nuhmu, tapi kamu harus bernyanyi setiap hari!” kata si Pemburu. Karena takut dibunuh, si Parkit pun setuju.

Setelah itu, si Pemburu membawa si Parkit pulang. Sesampai di rumahnya, si Parkit tidak dikurung dalam sangkar, tapi salah satu kakinya diikat pada tiang yang cukup tinggi. Sejak saat itu, setiap hari si Parkit selalu bernyanyi untuk menghibur si Pem­buru itu. Si Pemburu pun sangat senang mendengarkan suara si Parkit. “Untung….aku tidak membunuh burung parakeet itu”, ucap si Pemburuh. Ia merasa beruntung, karena banyak orang yang memuji kemerduan suara si Parkit. Sampai pada suatu hari, kemerduan suara si Parkit tersebut terdengar oleh Raja Aceh di istananya. Raja Aceh itu ingin agar burung parakeet itu menjadi miliknya. Sang Raja memanggil si Pemburu menghadap kepadanya. Si Pemburu pun datang ke istana dengan perasaan bimbang, karena ia sangat sayang pada si Parkit.

Sampai di hadapan Raja Aceh, ia tidak bersedia memberikan si Parkit yang bersuara merdu itu kepada Sang Raja. “Ampun, Baginda! Hamba tidak bermaksud menentang keinginan Baginda!” kata si Pemburu memberi hormat. “Lalu, kenapa kamu tidak mau memberikan burung itu?” tanya sang Raja. “Ampun, Baginda! Mohon beribu ampun! Hamba sangat sayang pada burung tersebut. Selama ini hamba telah memeliharanya dengan baik”, jawab si Pemburu. Mendengar jawaban itu, “Kalau begitu, bagaimana jika kuganti dengan uang yang sangat banyak.?”, sang Raja menawarkan. Pemburu itu pun terdiam sejenak memikirkan tawaran itu. Tidak lama, “Ampun, Baginda! Jika Baginda benar-benar menyukai burung parakeet ter­sebut, silakan kirim pengawal untuk me­ngambilnya!” kata si Pemburu sambil memberi hormat. Sang Raja sangat senang mendengar jawaban si Pemburu. Ia pun segera memerintahkan beberapa pengawalnya untuk mengambil burung parakeet tersebut dan menyerahkan uang yang dijanjikannya kepada si Pemburu.

Si Parkit pun dibawa ke istana dan dimasukkan ke dalam sangkar emas. Setiap hari si Parkit disediakan makanan yang enak. Meksipun semuanya serba enak, namun si Parkit tetap tidak senang, karena ia merasa terpenjara. Ia ingin kembali ke hutan belantara tempat tinggalnya dulu, agar ia bisa terbang bebas bersama rakyatnya. Karena merasa sedih, si Parkit sudah beberapa hari tidak mau menyanyi untuk sang Raja. Mengetahui burung parakeetnya tidak mau menyanyi lagi, sang Raja mulai bimbang memikirkan burung parakeetnya. Karena ingin tahu keadaan burung itu yang sebenarnya, maka sang Raja pun memanggil petugas istana, “Kenapa burung parakeetku tidak mau bernyanyi lagi beberapa hari ini? Dia sakit, ya?”. Petugas Istana itu menjawab, “Maaf, Tuanku. Hamba juga tidak tahu apa sebabnya. Saya telah memberinya makan seperti biasanya, tetapi tetap saja ia tidak mau bernyanyi,”. Mendengar jawaban dari Petugas Istana tersebut, Raja Aceh menjadi sedih melihat burung parakeetnya yang tidak mau bernyanyi lagi. “Ada apa, ya?” gumam sang Raja.

Beberapa hari kemudian, si Parkit bah­kan tidak mau memakan apa pun yang di­sediakan di dalam sangkar emasnya. Ia terus teringat pada hutan belantara tempat tinggalnya dulu. Si Parkit pun mulai berpikir, “Bagaimana caranya ya....aku bisa keluar dari sangkar ini?”, gumam si Parkit. Tak lama, ia pun menemukan akal, “Aahh....aku harus berpura-pura mati lagi!”, si Parkit tersenyum sambil membayangkan dirinya lepas dan terbang tinggi. Akhirnya, pada suatu hari, ia pun berpura-pura mati. Petugas Istana yang mengetahui si Parkit mati segera menghadap sang Raja. “Ampun, Tuanku. Hamba sudah merawat dan memelihara sebaik mung­kin, tapi burung parakeet ini tidak tertolong lagi. Mungkin karena sudah tua,” kata Petugas Istana melaporkan kematian si Parkit. Sang Raja sangat sedih mendengar berita kematian burung parakeetnya, sebab tidak akan ada lagi yang meng­hi­burnya. Meskipun sang Raja masih memiliki burung parakeet yang lain, tetapi suaranya tidak semerdu si Parkit. Karena si Parkit tidak bisa tertolong lagi, “Siapkan upacara penguburan! Kuburkan burung parakeetku itu dengan baik!” perintah sang Raja. “Siap, Tuanku! Hamba laksanakan!” sahut Petugas Istana.

Penguburan si Parkit akan dilaksanakan dengan upacara kebesaran kerajaan. Pada saat persiapan penguburan, si Parkit dikeluarkan dari sangkarnya karena dianggap sudah mati. Ketika ia melihat semua orang sibuk, dengan cepatnya ia terbang setinggi-tingginya. Di udara ia berteriak dengan riang gembira, “Aku bebaasss...!!! Aku bebaasss....!!!. Orang-orang hanya terheran-heran melihat si Parkit yang dikira sudah mati itu bisa terbang tinggi. Akhirnya si Parkit yang cerdik itu bebas terbang ke hutan belantara tempat tinggalnya dulu yang ia cintai. Kedatangan si Parkit pun disambut dengan meriah oleh rakyatnya.

Akhirnya, Si Parkit, Raja Parakeet, kembali tempat tinggalnya. (SM/sas/1/6-07)

Sumber:
Ari Wulandari. Pakit Raja Parakeet. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan Adicita Karya Nusa, 2003.