This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Thursday, October 28, 2010

Khalifah Ali Bin Abi Thalib ra

Khalifah Ali Bin Abi Thalib ra (Tahun 35-40 H/656-661 M)

Khalifah Utsman Bin 'Affan ra

Khalifah Utsman Bin 'Affan ra (Tahun 23-35 H/644-656 M)

Khalifah Umar Bin Khaththab ra

Khalifah Umar Bin Khaththab ra (Tahun 13-23 H/634-644 M)

Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq ra

Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq ra (Tahun 11-13 H/632-634 M)
Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin Utsman bin Amir bin Amru bin Ka`ab bin Sa`ad bin Taim bin Murrah bin Ka`ab bin Lu`ai bin Ghalib bin Fihr al-Qurasy at-Taimi – radhiyallahu` anhu. Bertemu nasabnya dengan Nabi pada kakeknya Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai. Abu Bakar adalah shahabat Rasulullah – shalallahu`alaihi was salam – yang telah menemani Rasulullah sejak awal diutusnya beliau sebagai Rasul, beliau termasuk orang yang awal masuk Islam. Abu Bakar memiliki julukan “ash-Shiddiq” dan “Atiq”.
Ada yang berkata bahwa Abu Bakar dijuluki “ash-Shiddiq” karena ketika terjadi peristiwa isra` mi`raj, orang-orang mendustakan kejadian tersebut, sedangkan Abu Bakar langsung membenarkan.

Allah telah mempersaksikan persahabatan Rasulullah dengan Abu Bakar dalam Al-Qur`an, yaitu dalam firman-Nya : “…sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada sahabatnya: `Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita’.” (QS at-Taubah : 40)
`Aisyah, Abu Sa’id dan Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ini mengatakan : “Abu Bakar-lah yang mengiringi Nabi dalam gua tersebut.”
Allah juga berfirman : “Dan orang yang membawa kebenaran dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (az-Zumar : 33)
Al-Imam adz-Dzahabi setelah membawakan ayat ini dalam kitabnya al-Kabaa`ir, beliau meriwayatkan bahwa Ja`far Shadiq berujar :”Tidak ada perselisihan lagi bahwa orang yang datang dengan membawa kebenaran adalah Rasulullah, sedangkan yang membenarkannya adalah Abu Bakar. Masih adakah keistimeaan yang melebihi keistimeaannya di tengah-tengah para Shahabat?”

Dari Amru bin al-Ash radhiyallahu` anhu, bahwa Rasulullah mengutusnya atas pasukan Dzatus Salasil : “Aku lalu mendatangi beliau dan bertanya “Siapa manusia yang paling engkau cintai?” beliau bersabda :”Aisyah” aku berkata : “kalau dari lelaki?” beliau menjawab : “ayahnya (Abu Bakar)” aku berkata : “lalu siapa?” beliau menjawab: “Umar” lalu menyebutkan beberapa orang lelaki.” (HR.Bukhari dan Muslim)

“Sesungguhnya Allah telah menjadikanku sebagai kekasih-Nya, sebagaimana Dia menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Nya. Dan kalau saja aku mengambil dari umatku sebagai kekasih, akan aku jadikan Abu Bakar sebagai kekasih.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Sa`id radhiyallahu` anhu, bahwa Rasulullah duduk di mimbar, lalu bersabda :”Sesungguhnya ada seorang hamba yang diberi pilihan oleh Allah, antara diberi kemewahan dunia dengan apa yang di sisi-Nya. Maka hamba itu memilih apa yang di sisi-Nya” lalu Abu bakar menangis dan menangis, lalu berkata :”ayah dan ibu kami sebagai tebusanmu” Abu Sa`id berkata : “yang dimaksud hamba tersebut adalah Rasulullah, dan Abu Bakar adalah orang yang paling tahu diantara kami” Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya orang yang paling banyak memberikan perlindungan kepadaku dengan harta dan persahabatannya adalah Abu Bakar. Andaikan aku boleh mengambil seorang kekasih (dalam riwayat lain ada tambahan : “selain rabb-ku”), niscaya aku akan mengambil Abu Bakar sebagai kekasihku. Tetapi ini adalah persaudaraan dalam Islam. Tidak ada di dalam masjid sebuah pintu kecuali telah ditutup, melainkan hanya pintu Abu Bakar saja (yang masih terbuka).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya Allah telah mengutusku kepada kalian semua. Namun kalian malah berkata `kamu adalah pendusta’. Sedangkan Abu Bakar membenarkan (ajaranku). Dia telah membantuku dengan jiwa dan hartanya. Apakah kalian akan meninggalkan aku (dengan meninggalkan) shahabatku?” Rasulullah mengucapkan kalimat itu 2 kali. Sejak itu Abu bakar tidak pernah disakiti (oleh seorangpun dari kaum muslimin). (HR. Bukhari)

Masa Kekhalifahan

Dalam riwayat al-Bukhari diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu` anha, bahwa ketika Rasulullah wafat, Abu Bakar datang dengan menunggang kuda dari rumah beliau yang berada di daerah Sunh. Beliau turun dari hewan tunggangannya itu kemudian masuk ke masjid. Beliau tidak mengajak seorang pun untuk berbicara sampai akhirnya masuk ke dalam rumah Aisyah. Abu Bakar menyingkap wajah Rasulullah yang ditutupi dengan kain kemudian mengecup keningnya. Abu Bakar pun menangis kemudian berkata : “demi ayah dan ibuku sebagai tebusanmu, Allah tidak akan menghimpun dua kematian pada dirimu. Adapun kematian yang telah ditetapkan pada dirimu, berarti engkau memang sudah meninggal.”Kemudian Abu Bakar keluar dan Umar sedang berbicara dihadapan orang-orang. Maka Abu Bakar berkata : “duduklah wahai Umar!” Namun Umar enggan untuk duduk. Maka orang-orang menghampiri Abu Bakar dan meninggalkan Umar. Abu Bakar berkata : “Amma bad`du, barang siapa diantara kalian ada yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah mati. Kalau kalian menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Hidup dan tidak akan pernah mati. Allah telah berfirman :

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul .... kamu berbalik ke belakang (murtad)? barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS Ali Imran : 144)
Ibnu Abbas radhiyallahu` anhuma berkata : “demi Allah, seakan-akan orang-orang tidak mengetahui bahwa Allah telah menurunkan ayat ini sampai Abu Bakar membacakannya. Maka semua orang menerima ayat Al-Qur`an itu, tak seorangpun diantara mereka yang mendengarnya melainkan melantunkannya.”

Sa`id bin Musayyab rahimahullah berkata : bahwa Umar ketika itu berkata : “Demi Allah, sepertinya aku baru mendengar ayat itu ketika dibaca oleh Abu Bakar, sampai-sampai aku tak kuasa mengangkat kedua kakiku, hingga aku tertunduk ke tanah ketika aku mendengar Abu Bakar membacanya. Kini aku sudah tahu bahwa nabi memang sudah meninggal.”

Dalam riwayat al-Bukhari lainnya, Umar berkata : “maka orang-orang menabahkan hati mereka sambil tetap mengucurkan air mata. Lalu orang-orang Anshor berkumpul di sekitar Sa`ad bin Ubadah yang berada di Saqifah Bani Sa`idah” mereka berkata : “Dari kalangan kami (Anshor) ada pemimpin, demikian pula dari kalangan kalian!” maka Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah bin al-Jarroh mendekati mereka. Umar mulai bicara, namun segera dihentikan Abu Bakar. Dalam hal ini Umar berkata : “Demi Allah, yang kuinginkan sebenarnya hanyalah mengungkapkan hal yang menurutku sangat bagus. Aku khawatir Abu Bakar tidak menyampaikannya” Kemudian Abu Bakar bicara, ternyata dia orang yang terfasih dalam ucapannya, beliau berkata : “Kami adalah pemimpin, sedangkan kalian adalah para menteri.” Habbab bin al-Mundzir menanggapi : “Tidak, demi Allah kami tidak akan melakukannya, dari kami ada pemimpin dan dari kalian juga ada pemimpin.” Abu Bakar menjawab : “Tidak, kami adalah pemimpin, sedangkan kalian adalah para menteri. Mereka (kaum Muhajirin) adalah suku Arab yang paling adil, yang paling mulia dan paling baik nasabnya. Maka baiatlah Umar atau Abu Ubaidah bin al-Jarroh.”Maka Umar menyela : “Bahkan kami akan membai`atmu. Engkau adalah sayyid kami, orang yang terbaik diantara kami dan paling dicintai Rasulullah.” Umar lalu memegang tangan Abu Bakar dan membai`atnya yang kemudian diikuti oleh orang banyak. Lalu ada seorang yang berkata : “kalian telah membunuh (hak khalifah) Sa`ad (bin Ubadah).” Maka Umar berkata : “Allah yang telah membunuhnya.” (Riwayat Bukhari)

Menurut `ulama ahli sejarah, Abu Bakar menerima jasa memerah susu kambing untuk penduduk desa. Ketika beliau telah dibai`at menjadi khalifah, ada seorang wanita desa berkata : “sekarang Abu Bakar tidak akan lagi memerahkan susu kambing kami.” Perkataan itu didengar oleh Abu Bakar sehingga dia berkata : “tidak, bahkan aku akan tetap menerima jasa memerah susu kambing kalian. Sesungguhnya aku berharap dengan jabatan yang telah aku sandang sekarang ini sama sekali tidak merubah kebiasaanku di masa silam.” Terbukti, Abu Bakar tetap memerahkan susu kambing-kambing mereka.

Ketika Abu Bakar diangkat sebagai khalifah, beliau memerintahkan Umar untuk mengurusi urusan haji kaum muslimin. Barulah pada tahun berikutnya Abu Bakar menunaikan haji. Sedangkan untuk ibadah umroh, beliau lakukan pada bulan Rajab tahun 12 H. beliau memasuki kota Makkah sekitar waktu dhuha dan langsung menuju rumahnya. Beliau ditemani oleh beberapa orang pemuda yang sedang berbincang-bincang dengannya. Lalu dikatakan kepada Abu Quhafah (Ayahnya Abu Bakar) : “ini putramu (telah datang)!”

Maka Abu Quhafah berdiri dari tempatnya. Abu Bakar bergegas menyuruh untanya untuk bersimpuh. Beliau turun dari untanya ketika unta itu belum sempat bersimpuh dengan sempurna sambil berkata : “wahai ayahku, janganlah anda berdiri!” Lalu Abu Bakar memeluk Abu Quhafah dan mengecup keningnya. Tentu saja Abu Quhafah menangis sebagai luapan rasa bahagia dengan kedatangan putranya tersebut.

Setelah itu datanglah beberapa tokoh kota Makkah seperti Attab bin Usaid, Suhail bin Amru, Ikrimah bin Abi Jahal, dan al-Harits bin Hisyam. Mereka semua mengucapkan salam kepada Abu Bakar : “Assalamu`alaika wahai khalifah Rasulullah!” mereka semua menjabat tangan Abu Bakar. Lalu Abu Quhafah berkata : “wahai Atiq (julukan Abu Bakar), mereka itu adalah orang-orang (yang baik). Oleh karena itu, jalinlah persahabatan yang baik dengan mereka!” Abu Bakar berkata : “Wahai ayahku, tidak ada daya dan upaya kecuali hanya dengan pertolongan Allah. Aku telah diberi beban yang sangat berat, tentu saja aku tidak akan memiliki kekuatan untuk menanggungnya kecuali hanya dengan pertolongan Allah.” Lalu Abu Bakar berkata : “Apakah ada orang yang akan mengadukan sebuah perbuatan dzalim?” Ternyata tidak ada seorangpun yang datang kepada Abu Bakar untuk melapor sebuah kedzaliman. Semua orang malah menyanjung pemimpin mereka tersebut.

Wafatnya

Menurut para `ulama ahli sejarah Abu Bakar meninggal dunia pada malam selasa, tepatnya antara waktu maghrib dan isya pada tanggal 8 Jumadil awal 13 H. Usia beliau ketika meninggal dunia adalah 63 tahun. Beliau berwasiat agar jenazahnya dimandikan oleh Asma` binti Umais, istri beliau. Kemudian beliau dimakamkan di samping makam Rasulullah. Umar mensholati jenazahnya diantara makam Nabi dan mimbar (ar-Raudhah) . Sedangkan yang turun langsung ke dalam liang lahat adalah putranya yang bernama Abdurrahman (bin Abi Bakar), Umar, Utsman, dan Thalhah bin Ubaidillah.

Sumber :
-Al-Bidayah wan Nihayah, Masa Khulafa’ur Rasyidin Tartib wa Tahdzib Kitab al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir. - Shifatush-Shofwah karya Ibnul Jauzi. Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah -Al-Kabaa`ir karya Adz-Dzahabi. Sumber yudhim.blogspot.com

Wednesday, October 13, 2010

Syech Jangkung-Saridin

Syech Jangkung-Saridin


SIAPA sebenarnya Saridin itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, warga Pati dan sekitarnya mungkin bisa membaca buku Babad Tanah Jawa yang hidup sekitar awal abad ke-16. Sebab, menurut cerita tutur tinular yang hingga sekarang masih diyakini kebenarannya oleh masyarakat setempat, dia disebut-sebut putra salah seorang Wali Sanga, yaitu Sunan Muria dari istri bernama Dewi Samaran.

Siapa wanita itu dan mengapa seorang bayi laki-laki bernama Saridin harus dilarung ke kali? Konon cerita tutur tinular itulah yang akhirnya menjadi pakem dan diangkat dalam cerita terpopuler grup ketoprak di Pati, Sri Kencono. Cerita babad itu menyebutkan, bayi tersebut memang bukan darah daging Sang Sunan dengan istrinya, Dewi Samaran.

Terlepas sejauh mana kebenaran cerita itu, dalam waktu perjalanan cukup panjang muncul tokoh Branjung di Desa Miyono yang menyelamatkan dan merawat bayi Saridin hingga beranjak dewasa dan mengakuinya sebagai saudaranya. Cerita pun merebak. Ketika masa mudanya, Saridin memang suka hidup mblayang (berpetualang) sampai bertemu dengan Syeh Malaya yang dia akui sebagai guru sejati.

Syeh Malaya itu tak lain adalah Sunan Kalijaga. Kembali ke Miyono, Saridin disebutkan telah menikah dengan seorang wanita yang hingga sekarang masyarakat lebih mengenal sebutan ”Mbokne (ibunya) Momok” dan dari hasil perkawinan tersebut lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Momok.

Sampai pada suatu ketika antara Saridin dan Branjung harus bagi waris atas satu-satunya pohon durian yang tumbuh dan sedang berbuah lebat. Bagi waris tersebut menghasilkan kesepakatan, Saridin berhak mendapatkan buah durian yang jatuh pada malam hari, dan Branjung dapat buah durian yang jatuh pada siang hari.

Kiasan

Semua itu jika dicermati hanyalah sebuah kiasan karena cerita tutur tinular itu pun melebar pada satu muara tentang ketidakjujuran Branjung terhadap ibunya Momok. Sebab, pada suatu malam Saridin memergoki sosok bayangan seekor macan sedang makan durian yang jatuh.

Dengan sigap, sosok bayangan itu berhasil dilumpuhkan menggunakan tombak. Akan tetapi, setelah tubuh binatang buas itu tergolek dalam keadaan tak bernyawa, berubah wujud menjadi sosok tubuh seseorang yang tak lain adalah Branjung.

Untuk menghindari cerita tutur tinular agar tidak vulgar, yang disebut pohon durian satu batang atau duren sauwit yang menjadi nama salah satu desa di Kecamatan Kayen, Durensawit, sebenarnya adalah ibunya Momok, tetapi oleh Branjung justru dijahili.

Terbunuhnya Branjung membuat Saridin berurusan dengan penguasa Kadipaten Pati. Adipati Pati waktu itu adalah Wasis Joyo Kusumo yang harus memberlakukan penegakan hukum dengan keputusan menghukum Saridin karena dinyatakan terbukti bersalah telah membunuh Branjung.

Meskipun dalam pembelaan Saridin berulang kali menegaskan, yang dibunuh bukan seorang manusia tetapi seekor macan, fakta yang terungkap membuktikan bahwa yang meninggal adalah Branjung akibat ditombak Saridin.

Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, dia harus menjalani hukuman yang telah diputuskan oleh penguasa Pati.

Pulang

Sebagai murid Sunan Kalijaga yang tentu mempunyai kelebihan dan didorong rasa tak bersalah, kepada penguasa Pati dia menyatakan telah punya istri dan anak. Karena itu, dia ingin pulang untuk menengok mereka.

Ulahnya Menjengkelkan Sunan Kalijaga

ONTRAN - ontran Saridin di perguruan Kudus tidak hanya menjengkelkan para santri yang merasa diri senior, tetapi juga merepotkan Sunan Kudus. Sebagai murid baru dalam bidang agama, orang Miyono itu lebih pintar ketimbang para santri lain.

Belum lagi soal kemampuan dalam ilmu kasepuhan. Hal itu membuat dia harus menghadapi persoalan tersendiri di perguruan tersebut. Dan itulah dia tunjukkan ketika beradu argumentasi dengan sang guru soal air dan ikan.

Untuk menguji kewaskitaan Saridin, Sunan Kudus bertanya, “Apakah setiap air pasti ada ikannya?” Saridin dengan ringan menjawab, “Ada, Kanjeng Sunan.”

Mendengar jawaban itu, sang guru memerintah seorang murid memetik buah kelapa dari pohon di halaman. Buah kelapa itu dipecah. Ternyata kebenaran jawaban Saridin terbukti. Dalam buah kelapa itu memang ada sejumlah ikan. Karena itulah Sunan Kudus atau Djafar Sodiq sebagai guru tersenyum simpul.

Akan tetapi murid lain menganggap Saridin lancang dan pamer kepintaran. Karena itu lain hari, ketika bertugas mengisi bak mandi dan tempat wudu, para santri mengerjai dia. Para santri mempergunakan semua ember untuk mengambil air.

Saridin tidak enak hati. Karena ketika para santri yang mendapat giliran mengisi bak air, termasuk dia, sibuk bertugas, dia menganggur karena tak kebagian ember. Dia meminjam ember kepada seorang santri.

Namun apa jawab santri itu? ”Kalau mau bekerja, itu kan ada keranjang.” Dasar Saridin. Keranjang itu dia ambil untuk mengangkut air. Dalam waktu sekejap bak mandi dan tempat wudu itu penuh air. Santri lain pun hanya bengong.

Dalam WC

Cerita soal kejadian itu dalam sekejap sudah diterima Sunan Kudus. Demi menjaga kewibawaan dan keberlangsungan belajar para santri, sang guru menganggap dia salah. Dia pun sepantasnya dihukum.

Sunan Kudus pun meminta Saridin meninggalkan perguruan Kudus dan tak boleh lagi menginjakkan kaki di bumi Kudus. Vonis itu membuat Saridin kembali berulah. Dia unjuk kebolehan.

Tak tanggung-tanggung, dia masuk ke lubang WC dan berdiam diri di atas tumpukan ninja. Pagi-pagi ketika ada seorang wanita di lingkungan perguruan buang hajat, Saridin berulah. Dia memainkan bunga kantil, yang dia bawa masuk ke lubang WC, ke bagian paling pribadi wanita itu.

Karena terkejut, perempuan itu menjerit. Jeritan itu hingga menggegerkan perguruan. Setelah sumber permasalahan dicari, ternyata itu ulah Saridin. Begitu keluar dari lubang WC, dia dikeroyok para santri yang tak menyukainya. Dia berupaya menyelamatkan diri. Namun para santri menguber ke mana pun dia bersembunyi.

Lagi-lagi dia menjadi buronan. Selagi berkeluh kesah, menyesali diri, dia bertemu kembali dengan sang guru sejati, Syekh Malaya.

Sang guru menyatakan Saridin terlalu jumawa dan pamer kelebihan. Untuk menebus kesalahan dan membersihkan diri dari sifat itu, dia harus bertapa mengambang atau mengapung) di Laut Jawa.

Padahal, dia tak bisa berenang. Syekh Malaya pun berlaku bijak. Dua buah kelapa dia ikat sebagai alat bantu untuk menopang tubuh Saridin agar tak tenggelam.

Dalam cerita tutur-tinular disebutkan, setelah berhari-hari bertapa di laut dan hanyut terbawa ombak akhirnya dia terdampar di Palembang. Cerita tidak berhenti di situ. Karena, dalam petualangan berikutnya, Saridin disebut-sebut sampai ke Timur Tengah.

Lulang Kebo Landoh Tak Tembus Senjata

ATAS jasanya menumpas agul-agul siluman Alas Roban, Saridin mendapat hadiah dari penguasa Mataram, Sultan Agung, untuk mempersunting kakak perempuannya, Retno Jinoli.

Akan tetapi, wanita itu menyandang derita sebagai bahu lawean. Maksudnya, lelaki yang menjadikannya sebagai istri setelah berhubungan badan pasti meninggal.

Dia harus berhadapan dengan siluman ular Alas Roban yang merasuk ke dalam diri Retno Jinoli. Wanita trah Keraton Mataram itu resmi menjadi istri sah Saridin dan diboyong ke Miyono berkumpul dengan ibunya, Momok.

Saridin membuka perguruan di Miyono yang dalam waktu relatif singkat tersebar luas sampai di Kudus dan sekitarnya. Kendati demikian, Saridin bersama anak lelakinya, Momok, beserta murid-muridnya, tetap bercocok tanam.

Sebagai tenaga bantu untuk membajak sawah, Momok minta dibelikan seekor kerbau milik seorang warga Dukuh Landoh. Meski kerbau itu boleh dibilang tidak lagi muda umurnya, tenaganya sangat diperlukan sehingga hampir tak pernah berhenti dipekerjakan di sawah.

Mungkin karena terlalu diforsir tenaganya, suatu hari kerbau itu jatuh tersungkur dan orang-orang yang melihatnya menganggap hewan piaraan itu sudah mati. Namun saat dirawat Saridin, kerbau itu bugar kembali seperti sedia kala.

Membagi

Dalam peristiwa tersebut, masalah bangkit dan tegarnya kembali kerbau Landoh yang sudah mati itu konon karena Saridin telah memberikan sebagian umurnya kepada binatang tersebut. Dengan demikian, bila suatu saat Saridin yang bergelar Syeh Jangkung meninggal, kerbau itu juga mati.

Hingga usia Saridin uzur, kerbau itu masih tetap kuat untuk membajak di sawah. Ketika Syeh Jangkung dipanggil menghadap Yang Kuasa, kerbau tersebut harus disembelih. Yang aneh, meski sudah dapat dirobohkan dan pisau tajam digunakan menggorok lehernya, ternyata tidak mempan.

Bahkan, kerbau itu bisa kembali berdiri. Kejadian aneh itu membuat Momok memberikan senjata peninggalan Branjung. Dengan senjata itu, leher kerbau itu bisa dipotong, kemudian dagingnya diberikan kepada para pelayat.

Kebiasan membagi-bagi daging kerbau kepada para pelayat untuk daerah Pati selatan, termasuk Kayen, dan sekitarnya hingga 1970 memang masih terjadi. Lama-kelamaan kebiasaan keluarga orang yang meninggal dengan menyembelih kerbau hilang.

Kembali ke kerbau Landoh yang telah disembelih saat Syeh Jangkung meninggal. Lulang (kulit) binatang itu dibagi-bagikan pula kepada warga. Entah siapa yang mulai meyakini, kulit kerbau itu tidak dimasak tapi disimpan sebagai piandel.

Barangsiapa memiliki lulang kerbau Landoh, konon orang tersebut tidak mempan dibacok senjata tajam. Jika kulit kerbau itu masih lengkap dengan bulunya. Keyakinan itu barangkali timbul bermula ketika kerbau Landoh disembelih, ternyata tidak bisa putus lehernya. Publish Post

sumber suaramerdekadotcom

Sunan Geseng - Ki Ageng Gribik

Sunan Geseng - Ki Ageng Gribik.

Menurut versi Babad Tanah Jawi-- Sunan Kalijaga juga punya murid lain, Sunan Geseng namanya. Nama asli petani penyadap nira ini adalah Ki Cokrojoyo. Alkisah, dalam pengembaraannya, Sunan Kalijaga terpikat suara merdu Ki Crokro yang bernyanyi setelah menyadap nira.

Kalijaga meminta Ki Cokro mengganti syair lagunya dengan zikir kepada Allah. Ketika Ki Cokro berzikir, mendadak gula yang ia buat dari nira itu berubah jadi emas. Petani ini heran bukan kepalang. Ia ingin berguru kepada Sunan Kalijaga. Untuk menguji keteguhan hati calon muridnya, Sunan Kalijaga menyuruh ki Cokro berzikir tanpa berhenti, sebelum ia datang lagi.

Setahun kemudian, Sunan Kalijaga teringat Ki Cokro. Sang aulia memerintahkan murid-muridnya mencari Ki Cokro, yang berzikir di tengah hutan. Mereka kesulitan menemukannya, karena tempat berzikir ki Cokro telah berubah menjadi padang ilalang dan semak belukar. Syahdan, setelah murid-murid Sunan Kalijaga membakar padang ilalang, tampaklah Ki Cokro sujud ke kiblat.

Tubuhnya hangus, alias geseng, dimakan api. Tapi, penyadap nira ini masih bugar, mulutnya berzikir komat-kamit. Sunan Kalijaga membangunkannya dan memberinya nama Sunan Geseng. Ia menyebarkan agama Islam di Desa Jatinom, sekitar 10 kilometer dari kota Klaten arah ke utara. Penduduk Jatinom mengenal Sunan Geseng dengan sebutan Ki Ageng Gribik.

Julukan itu berangkat dari pilihan Sunan Geseng untuk tinggal di rumah beratap gribik --anyaman daun nyiur. Menurut legenda setempat, ketika Ki Ageng Gribik pulang dari menunaikan ibadah haji, ia melihat penduduk Jatinom kelaparan. Ia membawa sepotong kue apem, dibagikan kepada ratusan orang yang kelaparan. Semuanya kebagian.

Kia Ageng Gribik meminta warga yang kelaparan makan secuil kue apem seraya mengucapkan zikir: Ya-Qowiyyu (Allah Mahakuat). Mereka pun kenyang dan sehat. Sampai kini, masyarakat Jatinom menghidupkan legenda Ki Ageng Gribik itu dengan menyelenggarakan upacara ''Ya-Qowiyyu'' pada setiap bulan Syafar.

Warga membikin kue apem, lalu disetorkan ke masjid. Apem yang terkumpul jumlahnya mencapai ratusan ribu. Kalau ditotal, beratnya sekitar 40 ton. Puncak upacara berlangsung usai salat Jumat. Dari menara masjid, kue apem disebarkan para santri sambil berzikir, Ya-Qowiyyu.... Ribuan orang yang menghadiri upacara memperebutkan apem ''gotong royong'' itu.

sumber suaramerdeka dot com

Ki Pandarang-Sunan Tembayat

Ki Pandarang-Sunan Tembayat


Sunan Tembayat adalah Adipati Semarang yang termasyhur dengan nama Ki Ageng Pandanarang. Berdasarkan cerita babad yang dikutip H.J. De Graaf dan T.H. Pigeuad, Pandanaran meninggalkan singgasananya lantaran gandrung akan ajaran Islam yang disampaikan Sunan Kalijaga. Pada 1512, Pandanarang menyerahkan tampuk pemerintahan kepada adik laki-lakinya.

''Ia bersama istrinya mengundurkan diri dari dunia ramai,'' tulis De Graaf dan Pigeaud dalam buku Kerajaan Islam Pertama di Jawa. ''Pasangan bangsawan Jawa ini berkelana mencari ketenangan batin, sembari berdakwah,'' kedua pakar sejarah dari Universitas Leiden, Negeri Belanda, itu menambahkan.

Usai bertualang, Pandanarang dan istrinya bekerja pada seorang wanita pedagang beras di Wedi, Klaten. Akhirnya ia menetap di Tembayat sebagai guru mengaji. Di sana selama 25 tahun, Pandanarang hidup sebagai orang suci dengan sebutan Sunan Tembayat. Ia wafat pada 1537 dan dimakamkan di situ. Bangunan kompleks makam Sunan Tembayat terbuat dari batu berukir, menyerupai bentuk Candi Bentar di Jawa Timur dan pura di Bali.

Pada prasasti makam Sunan Tembayat tertulis, makam ini pertama kali dipugar pada 1566 oleh Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya. ''Kemudian, pada 1633, Sultan Agung dari Mataram memperluas dan memperindah bangunan makam Tembayat,'' tulis De Graaf. Cerita tutur tentang kesaktian orang suci dari Semarang yang dimakamkan di Tembayat ini, menurut De Graaf, sudah beredar luas di kalangan masyarakat Jawa sejak pertengahan abad ke-17.

Kisah ini ternukil di naskah klasik karya Panembahan Kajoran dari Yogyakarta, yang ditulis pada 1677. Naskah tersebut pertama kali diteliti oleh D.A. Rinkes pada 1909. Dan kini, bukti sejarah itu tersimpan di Museum Leiden, Negeri Belanda. ''Dengan begitu, legenda itu punya inti kebenaran,'' tulis De Graaf, yang dijuluki ''Bapak Sejarah Jawa''.

sumber suaramerdeka dot com